KEDUDUKAN SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM
DUNIA
A.
PENDAHULUAN
Makalah ini
ini membahas tentang kedudukan sistem ekonomi Islam dalam sistem ekonomi besar
dunia lainnya, khususnya sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pada tahap awal
akan dibahas sistem ekonomi kapitalis, selanjutnya dibahas sistem ekonomi
sosialis untuk bahan perbandingan, dan terakhir sistem ekonomi Islam yang
kemudian dilihat posisinya berada dimana, lebih dekat ke kapitalis atau
sosialis? Pada bahasan tentang kapitalisme akan diuraikan perihal seluk beluk
sistem ekonomi kapitalis murni hingga dalam perkembangannya telah mengalami
transformasi menjadi sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Pada bagian awal
dipaparkan perihal filosofi (paham/ideologi) yang mendasari sistem ekonomi
kapitalis (murni) dan menjadi landasan gerak sistem tersebut. Uraian dipertajam
dengan menelaah ciri-ciri dan karakteristik penerapan sistem ekonomi kapitalis
murni secara teoritik dan empirik. Untuk memperkaya pemahaman, maka disajikan
ilustrasi praktek penerapan sistem ekonomi kapitalis di dunia. Selanjutnya
dibahas perihal transformasi sistem ekonomi kapitalis murni menjadi sistem
ekonomi kapitalis neoliberal dengan perkembangannya yang makin pesat hingga
sekarang. Secara khusus dipaparkan ideologi yang mendasari sistem ekonomi
tersebut, yaitu neoliberalisme. Paparan diperjelas dengan penelaahan ciri-ciri
dan karakteristik sistem ekonomi kapitalis neoliberal dan penerapannya di
negara-negara dunia, khususnya di Indonesia.
Berikutnya
makalah ini membahas perihal pengertian dan konsep dasar sistem ekonomi
sosialis-komunis murni dan variasinya dalam perkembangan sejarah. Di sana akan
dipaparkan filosofi (paham/ideologi) yang menjadi dasar sistem ekonomi
sosialis-komunis. Bahasan diikuti dengan uraian perihal ciri-ciri sistem
ekonomi sosialis-komunis (murni) sesuai dengan pandangan pemikir-pemikirnya.
Untuk memperkaya pemahaman tentang sosialis maka akan diuraikan ilustrasi
praktek berlakunya sistem ekonomi sosialis-komunis di dunia. Seterusnya
akan dibahas perkembangan pemikiran dan praktek sistem ekonomi sosialis
yang telah mengalami perubahan (transformasi) ke dalam sistem ekonomi
sosialis pasar (market socialism). Selanjutnya akan diuraikan bagaimana
sistem ini berbeda dengan sistem sosialis-komunis (murni) dalam hal ciri-ciri
penerapannya yang sudah mengalami modifikasi (penyesuaian) dengan kondisi
sosial-ekonomi masyarakat. Pada bagian akhir pembahasan tentang siste ekonomi
Sosialis akan diberikan contoh kasus penyelenggaraan sistem ekonomi
sosialis-pasar tertutama di negara-negara yang dulunya berpaham komunis seperti
halnya China.
Terakhir,
akan dibahas secara lengkap tentang sistem ekonomi Islam dan seluk beluknya.
Setelah itu, penulis akan mencoba memberikan analisis secara tajam dan mendalam
tentang posisi sistem ekonomi Islam, apakah lebih dekat dengan sistem ekonomi
Kapitalis atau Sosialis? Inilah pertanyaan inti yang akan dijawab oleh makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi pemikiran yang positif
untuk memperjelas kedudukan sistem ekonomi Islam dalam sistem-sistem ekonomi
dunia lainnya kapitalis dan sosialis.
B. SISTEM
EKONOMI KAPITALIS
B.1.
Filosofi Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem
Ekonomi Kapitalis muncul pada abad ke-17 ketika dominasi gereja di Eropa mulai
runtuh. Dominasi gereja, yang mendoktrinkan kepentingan gereja di atas segala
kepentingan, diruntuhkan oleh pandangan yang menekankan pada liberalisme,
individualisme, rasionalisme atau intelektualisme, materialisme dan humanisme.
Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi dasar Sistem Ekonomi Kapitalis. Pemikiran
liberalisme meletakkan kebebasan individu sebagai hal yang paling utama.
Rasionalisme mengajarkan bahwa peranan rasio (pikiran) lebih penting daripada
perasaan. Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakikat
kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, yaitu diraba,
didengar, dan dirasa. Sementara itu humanisme adalah paham yang menyatakan
bahwa bagi manusia yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudahnya
di luar jangkauan manusia sehingga tidak perlu dipikirkan (Hudiyanto, 2004:
21).
Jika
sebelumnya gereja dengan doktrin-doktrinnya menghalang-halangi umat Kristen
untuk mengumpulkan kekayaan karena kekayaan sepenuhnya milik gereja, maka
setelah keruntuhannya masyarakat Eropa pada zaman itu mulai benar-benar
memikirkan penimbunan kekayaan. Pada saat yang sama terjadi perubahan fokus
mendapatkan kekayaan. Jika sebelumnya, mereka sangat tergantung dengan
perdagangan maka setelah kemunculan penemuan teknologi baru seperti mesin uap,
mereka beralih pada industri. Modal yang semula dialokasikan pada perdagangan
dialihkan pada pembangunan industri. Pada masa itulah muncul Adam Smith (1776)
yang menjadi peletak ideologi kapitalisme.
B.2
Ciri-ciri Sistem Ekonomi Kapitalis
Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Kapitalis:
a.
Penjaminan atas hak milik perseorangan
Hak milik
pribadi adalah hal yang paling penting dalam kapitalisme. Setiap orang
berhak menimbun kekayaan pribadi sebesar-besarnya tanpa mengindahkan posisi
orang lain yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama.
b.
Mementingkan diri sendiri (self interest)
Karena
menekankan individualisme, maka dalam Sistem Ekonomi Kapitalis setiap individu
sepenuhnya dibebaskan berorientasi pada diri sendiri. Segala aktivitas ekonomi
dan sosial yang dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan diri sendiri. Para
kapitalis mempercayai kehadiran “tangan-tangan gaib” (invisible hands)
yang akan mempertemukan setiap kepentingan individu tersebut dalam sebuah titik
keseimbangan (equilibrium).
c.
Pemberian kebebasan penuh
Paham
liberalisme yang menjadi dasar pemikiran kapitalisme memungkinkan setiap pihak
memiliki kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas ekonomi. Campur tangan
negara dalam aktivitas ekonomi dibatasi hanya sebagai penyedia fasilitas dan
pengatur lalu lintas sehingga semua orang dapat melakukan aktivitas ekonominya
dengan lancar. Para kapitalis percaya jika setiap individu mendapatkan kepuasan
maka akan tercipta kemakmuran dalam masyarakat (harmony of interest).
Pemberian kebebasan kepada para pelaku ekonomi ini diyakini dapat diikuti
dengan ketertiban dalam kehidupan karena ada “tangan-tangan gaib” yang membawa
pada titik keseimbangan.
d.
Persaingan bebas (free competition)
Dalam sistem
kapitalis, persaingan antarpelaku ekonomi di masyarakat dimungkinkan.
Persaingan dapat terjadi antarpenjual yang dapat memberikan kualitas terbaik
kepada pembeli. Sebaliknya beberapa pembeli dapat saling bersaing untuk
memberikan harga terbaik. Secara umum pasar diibaratkan sebagai pasar
persaingan sempurna, yaitu situasi ketika posisi tawar masing-masing produsen
dan konsumen seimbang, sehingga pembeli dan penjual tidak dapat menjadi penentu
harga (price setter) tetapi hanya bertindak sebagai pengambil harga (price
taker). Harga yang disepakati adalah harga keseimbangan antara penawaran
dan permintaan.
e.
Harga sebagai penentu (price system)
Para
kapitalis sangat percaya pada mekanisme pasar yang bekerja menentukan harga
keseimbangan antara penawaran dan permintaan barang dan jasa. Dalam kondisi
apapun negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap pasar. Jika pada satu
waktu penawaran berlebihan sehingga mengakibatkan merosotnya harga, maka negara
diminta diam saja karena mekanisme pasar dengan sendirinya akan menentukan
harga keseimbangan baru.
f.
Peran negara minimal
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, pada Sistem Ekonomi kapitalis mekanisme pasarlah
yang satu-satunya diyakini baik dan boleh bekerja di pasar. Oleh karena itu
negara memiliki peran yang sangat minim. Negara hanya menjaga keamanan dan
ketertiban, menetapkan hak-hak kekayaan pribadi, menjamin perjanjian kedua
belah pihak ditaati, menjaga persaingan tanpa hambatan, mengeluarkan mata uang,
dan menyelesaikan persengketaan pihak buruh dan pemilik modal.
Sistem
Ekonomi Kapitalis memberikan kebebasan individu untuk berusaha mendapatkan
kekayaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kebebasan tersebut
mendorong individu melakukan berbagai inovasi ekonomi dan teknologi yang
mendorong kemajuan. Namun, kapitalisme membuat pihak yang tidak memiliki
posisi tawar (modal) yang sama dengan pihak lain secara struktural tidak akan
dapat bekerja dalam pasar, sehingga ia tidak dapat mencapai kemakmuran. Padahal
posisi tawar yang tidak seimbang inilah yang banyak terjadi dalam kehidupan
nyata.
Akibatnya
terjadi monopoli, pasar hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja.
Apabila monopoli terjadi maka terjadi ketimpangan kemakmuran. Pihak yang dapat
bekerja di pasar akan mendapatkan kemakmuran yang besar sedangkan sebaliknya
pihak yang “tersingkir” dari pasar tidak akan sejahtera. Jika semua orang
berorientasi pada diri mereka sendiri, maka kepentingan publik akan terabaikan,
misalnya pembangunan jembatan umum, rumah sakit, dan jalan raya tidak akan
dilakukan karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi.
B.3.
Perkembangan Ekonomi Kapitalis Neoliberal
Sistem
Ekonomi Kapitalis yang muncul sejak abad ke-17 telah mengalami perkembangan
yang luar biasa. Jika sebelumnya sistem ekonomi bekerja di bawah lingkup negara
(meskipun negara tidak diperbolehkan campur tangan) maka sekarang kapitalisme
telah bergerak melampaui batas-batas wilayah negara.
Sistem
Ekonomi kapitalis-neo liberal sering kali ditandai dengan globalisasi. Awal
tahun 1990-an arus pemikiran tentang globalisasi ekonomi mewarnai hampir
seluruh dunia. Terminologi yang berkaitan dengan globalisasi ini, seperti
negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, integrasi ekonomi
dunia, dan sebagainya menjadi semacam dogma seolah itulah yang diyakini yang
akan membawa dunia pada kemajuan ekonomi, hapusnya kemiskinan, serta
mengecilnya kesenjangan antarnegara. Upaya ke arah globalisasi ini sangat
didukung negara-negara adikuasa ekonomi, yang memang sudah akrab dengan
liberalisasi ekonomi berabad lebih awal dibanding negara berkembang.
Bonnie
Setiawan (2000: 4) menyebutkan bahwa ekonomi kapitalis neoliberal mulai
berkembang sejak diterapkan pemerintahan Tatcher di Inggris dan Reagan di AS.
Doktrin pokok dari ekonomi Neoliberal Thatcher adalah paham kompetisi –
kompetisi di antara negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan,
dan tentunya di antara individu. Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu
hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik
dan bijaksana. Kata Thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus
mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan
jalan keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu
khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan
adalah sesuatu yang alamiah. Akan tetapi ini baik karena berarti yang terhebat,
terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang.
Hasilnya, di
Inggris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup dibawah
kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari
tiga anak dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk
memperlemah kekuatan Serikat Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka
Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-Serikat Buruh di BUMN yang merupakan
terkuat di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai 1994, maka jumlah pekerja dikurangi
dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%). Pemerintah
juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutang dan
merekapitalisasi BUMN sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air Minum
(PAM) mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds
dana untuk membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta.
Demikian
pula di Amerika, kebijakan neo-Liberal Reagan telah membawa Amerika menjadi
masyarakat yang sangat timpang. Selama dekade 1980an, 10% teratas meningkat
pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat pendapatannya 23%; dan 1% teratas
meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini berkebalikan dengan 80% terbawah yang
kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir, kehilangan
pendapatan15%. Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga,
maka paham neo-Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral
Bank Dunia, IMF dan WTO.
Tiga poin
dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan
jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo
neo-Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut.
Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu
deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum
mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi
neo-liberal. Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:
1. ATURAN
PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang
dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan
internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat
buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya
kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
2. MEMOTONG
PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti terhadap sektor
pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk
orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik,
seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran
pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat
pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3.
DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi
keuntungan pengusaha.
4.
PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor
swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik,
sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi
efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke
dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.
5. MENGHAPUS
KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS. Masyarakat
harus mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan,
pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas
kemalasannya (Setiawan, 2006: 3-5) .
Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program
neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:
1. Paket
kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari
komponen-komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang
bebas; (b) Devaluasi; (c) Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan
kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak,
kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan
upah dan gaji.
2. Paket
kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang
seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini
dikuasai negara; (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan
segala jenis proteksi; (d) memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi
asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
3. Paket
kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi
krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang
merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.
Menurut
Wyane Ellwood, proses globalisasi sudah mulai sejak lima abad yang lalu (abad
ke-16) dengan dimulainya era kolonialisme Eropa. Perkembangan mutakhir adalah
munculnya integrasi kawasan Asia Pasifik melalui dibentuknya Asia-Pacific
Economic Forum (APEC) yang dimotori negara-negara seperti Australia,
Amerika, dan Kanada. Kemudian General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) pada tahun 1995 diperluas menjadi General Agreement on Trade and
Service (GATS) dan dibentuk organisasi yang kini dikenal dengan World
Trade Organization (WTO). WTO didasari pada asumsi bahwa perdagangan bebas
dunia akan meningkatkan perdagangan dunia. Berbagai perangkat organisasi
ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan perwujudan globalisasi
untuk mengangkat kemakmuran dunia.
Namun di
penghujung tahun 1990-an gerakan berlawanan arah dengan kecenderungan
globalisasi justru yang menguat. Globalisasi kini terus digugat banyak negara.
Impian untuk percepatan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemelaratan ternyata
tidak mewujud. Situasi yang ada justru melahirkan keadaan sebaliknya, dan
ketimpangan negara kaya-miskin dinilai makin membesar. Perusahaan besar dan
negara kaya mengambil untung lebih besar dari globalisasi ekonomi tersebut.
Diperkirakan 25 persen perdagangan dunia berlangsung dalam perusahaan
global atau intra-company trade. Porsi yang sama juga terjadi antara
negara maju yang tergabung dalam European Community (EC) dan NAFTA.
Hanya sebagian kecil dari perdagangan dunia ini yang bisa dinikmati negara-negara
berkembang. Hal yang sama juga terjadi dalam liberalisasi finansial, yang
dikendalikan oleh lembaga keuangan internasional serta dikomando negara-negara
adikuasa ekonomi dan pemilik modal di pasar uang dunia.
Kesimpulan
dari uraian yaitu bahwa pemikiran-pemikiran liberalisme, rasionalisme,
materialisme, dan humanisme menjadi dasar Sistem Ekonomi Kapitalis. Pemikiran
liberalisme meletakkan kebebasan individu sebagai hal yang paling utama.
Rasionalisme mengajarkan bahwa peranan rasio (pikiran) lebih penting daripada
perasaan. Materialisme adalah paham yang menyatakan bahwa hakikat
kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara empiris, yaitu diraba,
didengar, dan dirasa. Sementara itu humanisme adalah paham yang menyatakan
bahwa bagi manusia yang penting adalah kehidupan di dunia ini, hidup sesudahnya
di luar jangkauan manusia sehingga tidak perlu dipikirkan
Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Kapitalis adalah adanya penjaminan atas hak milik perseorangan,
mementingkan diri sendiri (self interest), pemberian kebebasan penuh,
persaingan bebas (free competition), harga sebagai penentu (price system), dan
peran negara minimal. Tiga poin dasar ekonomi kapitalis neo-Liberal dalam
multilateral adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang
bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi pola
pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai
pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi,
privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.
C. SISTEM
EKONOMI SOSIALIS
C.1. Sejarah
Perkembangan Sistem Ekonomi Sosialis
Munculnya
paham sosialis merupakan antithesa dari sistem ekonomi kapitalis. Ada
keterkaitan erat, baik kritik Marx terhadap sistem ekonomi kapitalis maupun
evedensi pijakan teori paham sosialis. Marx secara jujur, bahkan lebih jujur
dari kaum feodal sendiri, mengakui bahwa pada tataran nilai, terutama
kapitalis-feodal memang penuh dengan nilai suci dan luhur, dengan sikap dan
adat seperti kerukunan, kegotong-royongan, dan penghormatan terhadap penguasa
atau bangsawan, dengan tatanan sosial di mana kedudukan di atas dan di bawah
dianggap sesuatu yang adi duniawi. Namun dari nilai suci ini pula, Marx
menemukan arah terjangnya terhadap kapitalis yang kemudian, dalam teorinya,
dijadikan hulu ledak bagi lahirnya revolusi sosial.
Menurut Karl
Marx segala macam hubungan, tatanan, sikap, perasaan, upacara, dan norma feodal
itu sebenarnya tidak lebih dari pada selubung suci (dari sini pula kemudian
Marx mengatakan bahwa agama adalah candu) yang menutup-nutupi eksploitasi
kelas-kelas atas feodal terhadap kelas-kelas bawah. Di belakang perasaan
sungkan dan hormat masyarakat terhadap penguasa serta kepercayaannya akan
kebaikannya tersembunyilah kerakusan kelas-kelas atas yang hidup dari pekerjaan
rakyat. Nilai-nilai feodal tidak lebih dari selubung idelogis kenyataan bahwa
masyarakat feodal adalah masyarakat berdasarkan penghisapan manusia atas
manusia, yang menyebabkan alienasi, keterasingan seseorang dari apa yang telah
dibuat oleh tangannya sendiri.
Eksploitasi
dan persaingan inilah yang kemudian membentuk kelas proletarian. Sebagaimana
diketahui hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan,
produktivitas produksi harus ditingkatkan terus-menerus. Artinya, biaya produksi
perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin
dan dengan demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian,
lambat-laun semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan
akan kalah. Dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive.
Toko-toko dan perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja
usaha-usaha besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan
dijalankan secara kapitalistik. Yang akhirnya tinggal dua kelas sosial saja;
para pemilik modal yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas
buruh yang jumlahnya banyak dan tak punya apa-apa.
Kelas buruh
menjadi semakin sadar akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, akan
kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Mereka berhadapan dengan
kaum kapitalis, kemudian kaum buruh mengorganisasikan diri dalam
serikat-serikat buruh. Dengan demikian perjuangan proletarian semakin efektif.
Solidaritas antara mereka semakin besar. Menurut Marx, kaum kapitalis yang
memproduksi kelas proletar yang akan menghancurkan kapitalis sendiri, yakni
ledakan revolusioner oleh kaum proletar yang tak dapat dihindari.
Revolusi itu
pada permulaannya, kata Marx, bersifat politis; proletariat merebut kekuasaan
negara dan mendirikan “kediktatoran proletaritat”, mereka menggunakan kekuasaan
negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah kaum kapitalis memakai
kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai. Apabila sisi-sisi
perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, maka dengan sendirinya
kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi
dan ditindas lagi. Jadi dengan merebut kekuasaan dan menghapus hak milik
pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam
masyarakat tanpa kelas, negara sebagai ‘panitia untuk mengurus kepentingan
borjuis’ tidak mempunyai dasar lagi; “negara tidak ‘dihapus’, negara menjadi
layu dan mati sendiri. Maka komunisme itu adalah ‘loncatan umat manusia dari
kerajaan keniscayaan ke dalam kerajaan kebebasan’ (Hadi, 2006: 1-2).
C.2. Konsep
Pemikiran Ekonomi Sosialis
Darsono
(2002: 1) mengemukakan bahwa sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan
kapital milik bersama seluruh masyarakat atau milik negara sebagai alat
penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama kapital atau kepemilikan
kapital oleh negara adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang ada di
dunia ini harus dijadikan kapital bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui sistem kerja sama, hasilnya untuk memenuhi kebutuhan
hidup bersama, dan distribusi hasil kerja berdasar prestasi kerja yang telah
diberikan. Rousseau mengajukan pendapat bahwa hak milik perorangan merupakan
perampokan dan dalam tata kehidupan ilmiah hal semacam itu tidak dikenal. Dalam
rumusan slogan sosialis yang sangat terkenal, Louis Blanc menyatakan “setiap
orang bekerja sesuai kemampuannya dan setiap orang mendapat bagian sesuai
kebutuhannya”.
Ideologi
sosialisme hakikatnya adalah menelanjangi keserakahan kapitalisme. Bapak
ideologi sosialisme adalah Karl Marx dengan Teori Materialisme Dialektika
dan Materialisme Historis, dan Das Kapital. Kemudian ideologi sosialisme
dikembangkan oleh Althusser dengan Teori Strukturalisme, Antonio Gramsci dengan
Teori Hegemoni, Samir Amin dan Adre Gunder Frank dengan Teori Ketergantungan,
Max Hokreimer, Hebert Marcuse, Theodor W. Adorno dengan Teori Kritisnya yang
ingin membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi anti
dogmatisme yang artinya Marxisme tidak boleh dijadikan dogma (keyakinan
membuta).
Pemikiran
Sistem Ekonomi Sosialis sesungguhnya telah muncul sejak abad ke-16 yang disebut
sebagai sosialisme utopis. Polarisasi yang tajam antara si kaya dan si miskin
dalam struktur sosial ekonomi masyarakat Inggris pada abad ke-16 memunculkan
berbagai kritik, yang konsepnya disebut sebagai “sosialisme utopia”. Gagasan
ini merupakan tanggapan langsung pada tahap awal perkembangan kapitalisme,
termasuk yang sebelum dikonsepsikan secara sistematis oleh Adam Smith pada
tahun 1776. Tokoh-tokoh penganjur sosialisme utopia di antaranya adalah Thomas
More (1478-1535), Tomasso Campanella (1568-1639), Franscis Bacon (1560-1626),
dan dikembangkan oleh Robert Owen (1771-1858), Charles Fourer (1772-1837), dan
Louis Blanc (1811-1882).
Marx
menyumbang kepada teori pembangunan ekonomi dalam tiga hal, yaitu dalam
arti luas memberikan penafsiran sejarah dari sudut ekonomi, dalam arti sempit
merinci kekuatan yang mendorong perkembangan kapitalis, dan terakhir menawarkan
jalan alternatif tentang pembangunan ekonomi terencana.
Penafsiran
secara materialistik terhadap sejarah yang mencoba untuk memperlihatkan bahwa
semua peristiwa sejarah adalah hasil perjuangan ekonomi yang terus-menerus
diantara berbagai kelas dan kelompok dalam masyarakat. Sebab utama perjuangan
adalah pertentangan antara cara produksi dengan hubungan produksi. Cara
produksi menunjuk pada perjanjian produksi tertentu dalam masyarakat yang
menentukan keseluruhan cara hidup sosial, politis, dan keagamaan. Hubungan
produksi berhubungan dengan struktur kelas masyarakat yang ditandai secara khas
oleh komponen berikut:
- Organisasi buruh dalam bentuk
pembagian kerja dan kerja sama, keterampilan kerja dan status buruh dalam
konteks sosial yang berhubungan dengan tingkat kebebasan atau perbudakan.
- Lingkungan geografis dan
pengetahuan tentang pemanfaatan sumber dan bahan.
- Proses dan sarana teknik dan
keadaan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Menurut
Marx, setiap struktur kelas masyarakat terdiri dari kelas pemilik tanah dan
bukan pemilik tanah. Karena cara produksi tunduk pada perubahan maka evolusi
masyarakat akan terjadi apabila kekuatan produksi bertentangan dengan struktur
kelas masyarakat. Hubungan pemilikan yang ada berubah menjadi belenggu karena
kekuatan produksi itu. Kemudian datanglah periode revolusi sosial. Periode ini
menuju ke arah perjuangan kelas antara orang kaya dengan orang miskin, yang
akhirnya meruntuhkan seluruh sistem sosial tersebut. Tetapi bagi Marx tidak
pernah ada tatanan masyarakat yang menghilang sebelum keseluruhan kekuatan
produksi tuntas berkembang, dan hubungan produksi yang baru dan lebih tinggi
tidak pernah akan muncul sebelum kondisi material kehadirannya matang di dalam
kandungan masyarakat yang lama.
Marx
menggunakan teori nilai lebih sebagai basis ekonomi bagi perjuangan kelas di
dalam kapitalisme, dan atas dasar teori nilai lebih inilah ia membangun
suprastruktur analisa pembangunan ekonominya. Perjuangan kelas semata-mata
hasil dari penumpukan nilai lebih di tangan segelintair kapitalis. Kapitalisme
menurut Marx terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu para pekerja yang
menjual tenaga buruh dan para kapitalis yang memiliki alat-alat produksi.
Tenaga buruh serupa dengan komoditi lainnya. Pemilik tenaga menjual tenaganya
menurut harga dalam pasar tenaga kerja, yaitu nilainya. Nilai disini sama
dengan nilai komoditi lain, merupakan jumlah tenaga yang diperlukan untuk
menghasilkan tenaga buruh tersebut. Dengan perkataan lain, nilai tenaga buruh
adalah nilai dari sarana kehidupan yang diperlukan untuk mempertahankan
hidupnya, ditentukan oleh jumlah jam yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga
buruh itu.
Nilai
komoditi yang diperlukan untuk nafkah kehidupan buruh tidak pernah sama dengan
nilai produk buruh tersebut. Jika seorang buruh bekerja sehari sepuluh
jam, tetapi ia memerlukan enam jam untuk menghasilkan barang-barang guna
memenuhi kehidupannya ia akan digaji sama dengan enam jam tenaga. Perbedaan
senilai empat jam tenaga itu masuk ke kantong kapitalis dalam bentuk keuntungan,
sewa dan bunga. Marx menyebut kerja yang tidak dibayar ini dengan nilai lebih.
Kelebihan tenaga yang diberikan tanpa menerima apa-apa ini disebut oleh Marx
sebagai tenaga lebih.
Tenaga lebih
inilah yang membawa kepada akumulasi modal. Tenaga lebih semata-mata hanya
memperbesar keuntungan kapitalis. Motif utama kapitalis adalah untuk
meningkatkan nilai lebih guna memperbesar keuntungan. Ia mencoba memperbesar
keuntungan dengan tiga cara :
- Dengan memperpanjang jam kerja
agar meningkatkan jam kerja tenaga lebih.
- Dengan mengurangi jumlah jam
yang diperlukan untuk menghasilkan makanan buruh. Ini sama juga dengan
pengurangan dalam upah kehidupan.
- Dengan meningkatkan tenaga
yaitu meningkatkan produktivitas tenaga. Ini memerlukan perubahan
teknologi yang membantu meningkatkan keseluruhan output dan
menurunkan biaya produksi.
Dari ketiga
cara tersebut, menurut Marx, peningkatan produktivitas kerja adalah pilihan
yang paling mungkin karena dua cara lainnya, yaitu memperpanjang jam kerja dan
pengurangan upah, memiliki berbagai keterbatasan. Oleh sebab itu, agar dapat
meningkatkan produktivitas tenaga, para kapitalis itu menabung nilai lebih
tersebut, menginvestasikannya kembali dalam rangka memperoleh persediaan modal
yang banyak dan dengan demikian merupakan penumpukan modal.
C.3.
Ciri-Ciri dan Praktik Sistem Ekonomi Sosialis
Sistem
Ekonomi Kapitalis yang diterapkan di Eropa membawa kemakmuran bagi masyarakat,
walaupun kemakmuran tersebut tidak bertahan lama. Pada awal abad ke-20, terjadi
kondisi kelesuan ekonomi (malaises). Mekanisme pasar yang diharapkan
menyelesaikan depresi ekonomi tersebut ternyata tidak kunjung terjadi. Maka
kemudian muncul Sistem Ekonomi Sosialis yang pada abad ke-16 telah dipikirkan
dan diyakini dapat menjawab masalah ekonomi saat itu.
Sistem
Ekonomi Sosialis dilandasi oleh falsafah kolektivisme dan organisme.
Kolektivisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa setiap orang adalah warga
masyarakat. Oleh karena masyarakat adalah sebuah kesatuan tersendiri maka
kepentingan masyarakat harus lebih dahulu diutamakan daripada kepentingan
pribadi. Organisme adalah pandangan bahwa selain kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, negara sebagai sebuah kesatuan juga memiliki kepentingan dan
kebutuhan. Oleh karena itu, negara sebaiknya berperan besar dalam sistem
ekonomi untuk menjamin pemenuhan kepentingan dan kebutuhan setiap warga negara
(Hudiyanto, 2002: 33-34).
Dalam Sistem
Ekonomi Sosialis, pemerintah sangat berperan untuk menentukan jalannya
perekonomian, atau umum dikenal sebagai perencanaan terpusat atau centralized
planning sehingga hak milik dan inisiatif ekonomis individu kurang mendapat
tempat yang layak. Di samping itu, negara adalah pelayan rakyat. Negara harus
membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat
atas alat-alat produksi. Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan
politik yang melindungi dan menguntungkan kaum pekerja (Darsono, 2002:
18).
Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Sosialis adalah:
a.
Negara sangat berkuasa dalam pemilikan bersama (kolektivitas) semua faktor
produksi. Pemilikan bersama ini dimaksudkan agar semua faktor produksi
diarahkan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama bukan berorientasi
terhadap keuntungan pribadi.
b.
Produksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan (production for needs).
Negara akan mengatur semua produksi barang-barang yang dibutuhkan oleh
masyarakat, bukan hanya barang dan jasa yang bernilai ekonomi saja karena
seluruh kegiatan ekonomi tidak diarahkan untuk menimbun kekayaan individu
tetapi kesejahteraan bersama.
c.
Perencanaan ekonomi (economic planning). Negara melakukan perencanaan
yang ketat untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam sistem ini mekanisme pasar tidak lagi berlaku
karena negara yang menentukan semua harga (price setter).
Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, sistem ini ingin melindungi semua pihak, terutama
kelompok marjinal yang tidak memiliki faktor produksi. Perlindungan tersebut
dimaksudkan agar semua masyarakat mendapatkan kesejahteraan yang setara. Namun,
secara umum sistem ini menghambat ekspresi dan mengurangi semangat orang untuk
bekerja dan berprestasi, yang pada akhirnya makin menurunkan kreativitas dan
produktivitas masyarakat. Negara dan perencanaan ekonomi yang sentralistik
tidak dapat menjamin bahwa produksi dan distribusi barang dan jasa sesuai
kebutuhan masyarakat karena pada tingkatan tertentu negara tidak memiliki
kemampuan produksi dan distribusi sebesar kebutuhan masyarakat.
Kelebihan
dari sistem ekonomi sentralistik adalah ia bisa membuat perencanaan tertentu
secara mudah. Negara atau pemerintah dapat menentukan arah perekonomiannya
secara keseluruhan. Perencanaan makroekonomi yang bisa mengatur tingkat
konsumsi tingkat konsumsi dan investasi serta pengadaan barang-barang kolektif
(barang publik) dan barang-barang konsumen akan lebih mudah dirumuskan dan
diawasi. Model perencanaan sentralistik menekankan pentingnya pengetahuan
mengenai faktor-faktor teknologis atas pengelolaan perekonomian secara
keseluruhan sesuai dengan tujuan atau kehendak lembaga perencana pusat.
Kesulitan
atau masalah praktis pertama yang dihadapi oleh badan atau lembaga perencanaan
pusat dalam suatu ekonomi sentralistik yang bertanggung jawab melaksanakan
fungsi alokasi sumber daya adalah bagaimana membangun sebuah sistem informasi yang
seluas dan selengkap mungkin sehingga dapat merangkum setiap konsumen, produsen
dan setiap jenis barang.
Suatu
lembaga pusat tidak sekedar menetapkan harga begitu saja melainkan secara
cermat menyusun tahapan-tahapan alokasi dari semua jenis barang dan jasa untuk
berbagai keperluan atau penggunaan. Setelah itu, ia harus mampu mengumpulkan
dan mengolah aneka informasi yang akan memungkinkannya memperkirakan kontribusi
marjinal dari suatu barang dan jasa terhadap kesejahteraan semua penduduk.
Setelah itu, lembaga tersebut harus dapat merumuskan rencana baru yang
memanfaatkan berbagai input dari rencana sebelumnya sehingga ia bisa mengetahui
jenis penggunaan barang dan jasa mana yang kontribusinya lebih tinggi sehingga
dari waktu ke waktu ia bisa menyajikan rencana alokasi yang semakin baik.
Dengan demikian sistem ekonomi sentralistik yang bersangkutan benar-benar mampu
menjalankan fungsi alokasinya secara efisien.
Kelemahan
sistem ekonomi sentralistik terletak pada kecenderungan inefisiensi yang sangat
besar atas pelaksanaan fungsi alokasi, terutama alokasi terhadap aneka barang
atau produk konsumen dan alokasi permodalan. Meskipun lembaga pusat itu pada
prinsipnya dapat, secara efisien, memberlakukan harga-harga bayangan dan
rasio-rasio pertukaran antara berbagai jenis sumber daya atau faktor-faktor
produksi , kemungkinan praktek pelaksanaan dari mekanisme semacam itu masih
sangat diragukan. Pengawasan harga dan penerapannya sebagai alat atau instrumen
untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi dari para konsumen dan produsen
ternyata lebih cenderung mengakibatkan inefisiensi, baik dalam konsumsi maupun
dalam produksi.
Dalam
prakteknya, sistem ekonomi sentralistik justru banyak mengalami kegagalan
fatal, tidak jarang sistem tersebut bahkan tidak mampu menjalankan
fungsi-fungsi pengelolaan ekonomi yang paling mendasar. Ini dibuktikan dengan
terjadinya kekurangan atau kelangkaan berbagai barang kebutuhan pokok, produksi
yang berlebihan atas jenis produk tertentu, kekeliruan alokasi modal dan faktor
produksi tenaga kerja sehingga mengakibatkan kelangkaan dana investasi dan
lonjakan pengangguran.
Hal-hal
seperti itu selalu muncul jika menyimak perekonomian dari negara-negara Eropa
Timur. Lembaga perencanaan raksasa yang terdapat di negara-negara tersebut
menggunakan harga untuk mengalokasikan sumber-sumber, namun harga-harga itu
tidak sesuai dengan kondisi-kondisi permintaan dan penawaran. Dalam sistem
ekonomi sentralistik yang ideal, instrumen harga tidak diperlukan. Negara atau
pemerintah dapat mengetahui nilai relatif dari setiap jenis barang berdasarkan
tingkat preferensi barang yang bersangkutan.
Akan tetapi
dalam prakteknya tidak ada perekonomian yang bisa dikelola dengan cara seperti
itu. Walaupun, sebagai contoh, perekonomian Uni Soviet dahulu pengaturannya
didasarkan pada kerangka kerja perencanaan raksasa — untuk menjalankan fungsi
alokasi sumber-sumber daya di berbagai kawasan, pabrik dan untuk seluruh
konsumen — ia tetap menggunakan instrumen harga dalam bentuk tertentu, yakni
harga administratif. Unit-unit tunggal dalam perekonomian Uni Soviet diberi
suatu anggaran khusus agar masing-masing unit dapat membuat keputusan
sendiri-sendiri mengenai alokasi sumber daya. Itu tidak berarti bahwa
keputusan-keputusan dari unit-unit tersebut dapat sepenuhnya mengelola alokasi
sumber daya; jadi disitu tetap terlihat adanya batas-batas tertentu dari fungsi
perencanaan walaupun sebagian besar keputusan ekonomi dari para konsumen dan
produsen tetap ditentukan melalui perencanaan.
Pada
akhirnya serangkaian perubahan ekonomi secara drastis juga melanda kedudukan
dan fungsi perencanaan. Dari waktu ke waktu makin terbukti betapa terbatasnya
peran perencanaan sehingga para administrator harus mencari instrumen lain
untuk mengumpulkan informasi untuk meningkatkan efisiensi.
Perubahan
pola produksi dan manajemen dalam sistem ekonomi sentralistik menjadi semakin
sulit ditangani akibat begitu kecilnya rangsangan dan insentif bagi setiap
individu untuk berinisisatif menciptakan inovasi-inovasi yang diperlukan.
Penerapan berbagai macam indikator kinerja tidak akan banyak membantu karena
dalam sistem ekonomi sentralistik yang mengandalkan hirarki pengawasan secara
ketat, indikator-indikator semacam itu sangat mudah dimanipulasi. Keruntuhan
dramatis dan mendadak yang dialami oleh sistem-sistem ekonomi sentralistik
Eropa Timur pada akhir tahun 1980-an nampaknya merupakan reaksi akhir atas
berbagai kelemahan yang terkandung di dalamnya yang sudah sangat
berlarut-larut.
Sebagai
kesimpulannya adalah bahwa Sosialisme muncul karena adanya eksploitasi
kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah, penghisapan manusia atas manusia
lain yang menyebabkan alienasi, keterasingan seseorang dari apa yang telah
dibuat oleh tangannya sendiri. Hukum persaingan menuntut adanya peningkatan
produktivitas secara terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan
serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan
demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian, lambat-laun
semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak murni ke keuntungan akan kalah.
Dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang dapat survive. Toko-toko dan
perusahaan-perusahaan kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja usaha-usaha
besar. Lama-kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara
kapitalistik. Yang akhirnya tinggal dua kelas sosial saja; para pemilik modal
yang jumlahnya sedikit dan modalnya amat besar, dan kelas buruh yang jumlahnya
banyak dan tak punya apa-apa.
Kelas buruh
menjadi semakin sadar akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, akan
kesamaan situasi mereka sebagai kelas proletariat. Mereka berhadapan dengan
kaum kapitalis, kemudian kaum buruh mengorganisasikan diri dalam
serikat-serikat buruh. Dengan demikian perjuangan proletarian semakin efektif.
Solidaritas antara mereka semakin besar. Menurut Marx, kaum kapitalis yang
memproduksi kelas proletar yang akan menghancurkan kapitalis sendiri, yakni
ledakan revolusioner oleh kaum proletar yang tak dapat dihindari.
Dalam Sistem
Ekonomi Sosialis, pemerintah sangat berperan untuk menentukan jalannya
perekonomian, atau umum dikenal sebagai perencanaan terpusat atau centralized
planning sehingga hak milik dan inisiatif ekonomis individu kurang mendapat
tempat yang layak. Di samping itu, negara adalah pelayan rakyat. Negara harus
membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat
atas alat-alat produksi. Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan
politik yang melindungi dan menguntungkan kaum pekerja.
Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Sosialis adalah:
a.
Negara sangat berkuasa dalam pemilikan bersama (kolektivitas) semua faktor
produksi.
b.
Produksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan (production for needs).
c.
Perencanaan ekonomi (economic planning).
Kelebihan
dari sistem ekonomi sentralistik adalah ia bisa membuat perencanaan tertentu
secara mudah. Negara atau pemerintah dapat menentukan arah perekonomiannya
secara keseluruhan. Perencanaan makroekonomi yang bisa mengatur tingkat
konsumsi dan investasi serta pengadaan barang-barang kolektif (barang publik)
dan barang-barang konsumen akan lebih mudah dirumuskan dan diawasi. Model
perencanaan sentralistik menekankan pentingnya pengetahuan mengenai
faktor-faktor teknologi atas pengelolaan perekonomian secara keseluruhan sesuai
dengan tujuan atau kehendak lembaga perencana pusat.
Kelemahan
sistem ekonomi sentralistik terletak pada kecenderungan inefisiensi yang sangat
besar atas pelaksanaan fungsi alokasi, terutama alokasi terhadap aneka barang
atau produk konsumen dan alokasi permodalan. Meskipun lembaga pusat itu pada
prinsipnya dapat, secara efisien, memberlakukan harga-harga bayangan dan
rasio-rasio pertukaran antara berbagai jenis sumber daya atau faktor-faktor
produksi , kemungkinan praktek pelaksanaan dari mekanisme semacam itu masih
sangat diragukan. Pengawasan harga dan penerapannya sebagai alat atau instrumen
untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi dari para konsumen dan produsen
ternyata lebih cenderung mengakibatkan inefisiensi, baik dalam konsumsi maupun
dalam produksi.
D. SISTEM
EKONOMI ISLAM
Dua sistem
ekonomi dunia yang telah disebutkan di atas, yaitu kapitalis dan sosialis
terbukti tidak mampu memberikan jawaban memuaskan bagi berbagai problem ekonomi
dunia. Sistem ekonomi sosialis tidak menjadi tawaran menarik jika melihat
semakin sedikitnya negara-negara dunia yang mempergunakan sistem ini. Kalaupun
ada (Cina misalnya) penerapannya tidak lagi mencirikan secara khusus sistem
ekonomi sosialis. Sedangkan kapitalisme hanya semakin melahirkan ketimpangan
sosial dan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara berkembang dan
terbelakang.
Dengan
demikian tampaknya diperlukan adanya satu sistem ekonomi yang mampu menunjukkan
keberimbangan sisi ekonomi dan sosial yang dituntut oleh manusia secara umum.
Sistem itu adalah sistem ekonomi Islam.
Sistem
ekonomi Islam bersumber dari sekumpulan hukum yang disyari’atkan oleh Allah
yang ditujukan untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan, terutama dalam
bidang ekonomi, dan mengatur atau mengorganisir hubungan manusia dengan harta
benda, memelihara dan menafkahkannya. Tujuan sistem ekonomi ini adalah untuk
menciptakan kemakmuran dan keadilan dalam . kehidupan manusia, merealisasikan
kesejahteraan mereka, dan menghapus kesenjangan dalam masyarakat Islam melalui
pendistribusian kekayaan secara berkesinambungan, mengingat adanya kesenjangan
; itu sebagai hasil proses sosial dan ekonomi yang penting.
Pemikiran
ekonomi Islam dilandasi oleh beberapa asas, antara antara lain (Al-Kailani,
et.al, 1995: 194-195):
1. Hakekat
kepemilikan harta adalah milik Allah, sesuai dengan firman-Nya dalam QS
An-Nur:33: “Dan berikanlah kepada mereka .rebagian harta Allah yang
dikaruniakan kepadamu.”
2. Kelompok
diberikan hak penguasaan dalam harta Allah, sesuai dengan firman-Nya dalam QS
Al-Hadid:7: “Dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya.” Asas ini memberikan pengertian bahwa
kepemilikan manusia terhadap suatu harta benda tidak lain merupakan hasil usaha
mereka dan kemudian membelanjakannra sebagai duta pemilik esensi semua jenis
harta yaitu Allah SWT.
3. Membatasi
kepemilikan dan penggunaan harta dengan cara-cara legal. Dalam Islarn, harta
hanya diakui sebagai milik jika sumber dan penggunaannya legal.
4. Harta
yang tidak dipergunakan untuk memenuhi hak Allah dan hak hamba menjadi harta
simpanan yang dapat membahayakan kepentingan umum serta dapat menghambat laju
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Firman Allah dalam QS. Al-Taubah:34: “Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapatkan siksa
yang amat pedih.”
5.
Rotasi harta kekayaan merupakan persoalan yang diperhatikan oleh Islam agar
tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja. Firman Allah dalam QS.
Al-Hasyr:7: “Agar harta itu tidak hanya berkutut pada orang kaya di untara
kamu.”. Ayat ini merupakan pondasi prinsip keberimbangan (qaidah
al-tawazun al-mali) dalam masyarakat Islam.
D.1.
Kapital Dalam Pandangan Islam
Kapital
dalam pandangan ekonomi merupakan segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dengan
cara apapun melalui berbagai pemanfaatan materiil. Sebagaimana segala sesuatu
yang memiliki nilai dapat dikategorikan sebagai kapital, maka kapital itu juga
mencakup segala macam barang dan nilai seperti tanah, pohon, dan rumah
Landasan
pokok pandangan Islam terhadap posisi kapital/harta (Al-Khatib, Abdul Karim,
1976:29-30):
1.
Harta merupakan bagian kebutuhan pokok kehidupan dimana manusia selalu
membutuhkannya. Harta merupakan salah satu bagian lima tujuan pokok (al-maqasid
al-khamsah) yang dijaga oleh srari’at Islam demi mempertahankan eksistensi
kemuliaan manusia.
2. Harta
merupakan mediasi, bukan tujuan tunggal. Hal ini disebabkan karena penyediaan
harta ditujukan demi kepentingan manusia dan untuk menopang hidup serta
kehidupannya. Harta bukanlah tujuan hidup dan ia tidak patut melalaikan manusia
dari penghambaan kepada Tuhannya atau kewajiban agamanya. Kesahajaan hidup jauh
lebih mulia daripada kekayaan itu sendiri. Posisi harta bagi manusia tidak
lebih hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, sandang, atau untuk dishadaqahkan
sebagaimana yang digariskan oleh Nabi Muhammad SAW:
3.
Harta tidaklah menjadi ukuran kunci atau menjadi barometer kemuliaan manusia.
Manusia tidak dilihat dari kepemilikan yang dipunyai, karena harta sesungguhnya
merupakan ukuran materiil. Barometer manusia adalah ketakwaan dan
konsistensinya. Oleh karenanya, tidak diperkenankan untuk menjadikan harta
sebagai mediasi intervensi atas persoalan-persoalan negara Islam, alat untuk
memaksakan kehendak di dalamnya, atau alat untuk mengeksploitasi dan menyakiti
manusia lainnya.
4. Harta
dalam Islam memiliki posisi urgen dan kepemilikannya dijaga. Al-Qur’an sendiri
menyebutkan harta sebanyak 76 kali. Harta yang diposisikan legal yaitu harta
yang dapat menjamin terwujudnya kebutuhan manusia melalui bentuk usaha,
penafkahan, dan pengembangannya. Islam juga menjamin keamanan di tangan
pemiliknya dan penjagaan dari pencurian, perampasan, dan pencopetan, atau
segala bentuk perbuatan yang diharuskan adanya hukuman yang tidak lain
ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.
5. Kekayaan
hakekatnya adalah milik Allah sedangkan manusia hanya menjadi pengganti kedudukan
kepemilikan Allah yang bersifat mutlak itu.
D.2.
Prinsip Dasar Sistem Ekonomi Islam
Lebih jelas
prinsip dasar sistem ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
(i)
Kebebasan individu. Individu mempunyai hak kebebasan sepenuhnya untuk
berpendapat atau membuat suatu keputusan yang dianggap perlu dalam sebuah
negara Islam. Karena tanpa kebebasan tersebut individu muslim tidak dapat
melaksanakan kewajiban mendasar dan penting dalam menikmati kesejahteraan dan
menghindari terjadinya kekacauan dalam masyarakat.
(ii) Hak
terhadap harta. Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta. Walaupun
begitu ia memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan masyarakat umum.
(iii)
Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar. Islam mengakui adanya
ketidaksamaan ekonorni di antara orang perorang tetapi tidak membiarkannya
menjadi bertambah luas, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam
batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan.
(iv)
Kesamaan sosial. Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi tetapi
ia mendukung dan menggalakkan kesamaan sosial sehingga sampai tahap bahwa
kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu
masyarakat saja. Di samping itu amat penting setiap individu dalam sebuah negara
(Islam) mempunyai peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan pekerjaan atau
menjalankan berbagai aktivitas ekonomi.
(v)
Jaminan sosial. Setiap, individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah
negara Islam; dan setiap warga negara dijamin untuk memperoleh kebutuhan
pokoknya masingmasing. Memang menjadi tugas dan tanggungjawab utama bagi
sebuah negara Islam untuk menjamin setiap warga negara, dalam memenuhi
kebutuhannya sesuai dengan prinsip “hak untuk hidup “. Dan terdapat
persamaan sepenuhnya di antara warga negara apabila kebutuhan pokoknya telah
terpenuhi.
(vi)
Distribusi kekayaan secara meluas. Islam mencegah penumpukan kekayaan
pada kelompok kecil tertentu orang dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada
semua lapisan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, Islam mengambil beberapa
langkah positif dan negatif yang akan dibicarakan pada bab yang lain.
(vii)
Larangan menumpuk kekayaan. Sistern ekonomi Islam melarang individu
mengumpulkan harta kekayaan secara berlebihan dan mengambil langkah-langkah
yang perlu untuk mencegah perbuatan yang tidak baik tersebut supaya tidak
terjadi dalam negatif.
(viii)
Larangan terhadap organisasi anti sosial. Sistem ekonomi Islam melarang
semua praktek yang merusak dan anti sosial yang terdapat dalam masyarakat,
misalnya berjudi, minum arak, riba, menumpuk harta, pasar gelap dan sebagainya.
(ix) Kesejahteraan
individu dan masyarakat. Islam mengakui kesejahteraan individu dan
kesejahteraan sosial masyarakat yang saling melengkapi satu dengan yang lain, bukannya
saling bersaing dan bertentangan antar mereka. Maka sistem ekonomi Islam
mencoba meredakan konflik ini sehingga terwujud kemanfaatan bersama.
E.
KEDUDUKAN SISTEM EKONOMI ISLAM ANTARA KAPITALIS DAN
SOSIALIS
Pada
dasarnya sistem ekonomi Islam berbeda dari sistemsistem ekonomi kapitalis dan
sosialis; dan dalam beberapa hal, merupakan pertentangan antara keduanya dan
berada di antara kedua ekstrim tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki
kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi
bebas daripada kelemahan yang terdapat pada kedua sistem tersebut. Hubungan
antara individu dalam sistem ekonomi Islam cukup tersusun sehingga saling
membantu dan kerjasama diutamakan dari persaingan dan permusuhan sesama mereka.
Untuk tujuan tersebut, sistem ekonomi Islam bukan saja menyediakan individu
kemudahan dalarn bidang ekonomi dan sosial bahkan juga memberikan mereka juga
pendidikan moral dan latihan tertentu yang membuat mereka merasa bertanggung
jawab untuk membantu rekan-rekan sekerja dalam mencapai keinginan mereka atau
sekurang-kurangnya tidak menghalangi mereka dalam usahanya untuk hidup.
Islam
memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang mernberikan
kebebasan serta hak pemilikan kepada individu dan menggalakkan usaha secara
perseorangan. Tidak pula dari sudut pandang komunis, yang ingin menghapuskan
semua hak individu dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang
dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri
sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat. Pemilihan sikap yang terlalu
mementingkan diri sendiri di kalangan anggota masyarakat dapat dilakukan dengan
melalui pengaan moral dan undang-undang. Di satu sisi pemahaman konsep ekonomi
di kalangan masyarakat berubah dan diperbaiki melalui pendidikan moral serta di
sisi yang lain, beberapa langkah tertentu yang legal diambil untuk memastikan
sifat mementingkan diri golongan kapitalis tidak sampai ke tahap yang
menjadikan mereka tamak serta serakah; dan bagi si miskin, tidak merasa iri
hati, mendendam dan kehilangan sikap toleransi. Bagian yang terpenting dari
prinsip-prinsip tersebut yang perlu bagi organisasi ekonomi dalam masyarakat
untuk mencapai tujuan yang telah dinyatakan tadi ialah hak pemilikan individu,
yang perlu untuk kemajuan manusia bukan saja senantiasa dijaga dan terpelihara
tetapi terus didukung dan diperkuat.
Di bawah
sistem ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang dihindarkan dan
langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk memindahkan aliran kekayaan
kepada anggota masyarakat yang belum bernasib baik. Mendalami sistem tersebut
kita akan mendapatkan kelemahan sistem ekonomi kapitalis yang berkembang
menurut konsep persaingan bebas dan hak pemilikan yang tidak terbatas, ataupun
kelemahan sistem ekonomi sosialis yang tumbuh akibat pengawasan yang terlalu
ketat dan sikap diktator golongan kaum buruh serta tidak adanya pengakuan hak
pemilikan terhadap harta. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil dan
seksama serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya kepada satu
kalumpok saja, tetapi tersebar ke seluruh masyarakat. Ciri-ciri penting sistem
ekonomi Islam tersebut digambarkan dalam ayat Al-Qur’an Surah Al-Hasyr: 7: “Supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara golongan kaya saja di kalangan kamu“.
Islam
menganjurkan suatu sistem yang sangat sederhana untuk peningkatan ekonomi
masyarakat yang membolehkan anggotanya melakukan proses pembangunan ekonomi
yang stabil dan seimbang, bebas dari kelemahan sistem kapitalis dan sosialis.
Sistem ekonomi Islam menyediakan peluang-peluang yang sama dan memberikan
hak-hak alami kepada semua (yaitu hak terhadap harta dan bebas berusaha); dan
pada saat yang sama menjamin keseimbangan dalam distribusi kekayaan;
semata-mata untuk tujuan memelihara kestabilan dalam sistem ekonomi. Hak akan
harta milik perseorangan dan kebebasan tidak diberikan tanpa batasan seperti
dalam sistem kapitalis, tetapi diimbangi dengan batasan-batasan moral dan
undang-undang. Secara keseluruhan langkah-langkah tersebut mengakibatkan
kekayaan senantiasa beredar secara terus-menerus di kalangan orang banyak dan
tidak terakumulasi hanya pada pihak-pihak tertentu saja. Setiap individu
mendapat bagian yang sewajarnya serta adil dan negara menjadi semakin makmur.
Dengan demikian
dalam sistem ekonomi Islam tidak terdapat individu-individu yang menjadi
pengelola kekayaan negara ataupun sebaliknya semua individu secara paksa
diletakkan pada tingkat ekonomi yang sama. Tetapi, kondisi tersebut diperbaiki
supaya setiap individu tanpa mengganggu individu yang lain, dapat memperoleh
kekayaan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang baik.
Individu akan mengeluarkan pendapatannya secara lebih ekonomis tanpa mengganggu
keseimbangan ekonomi masyarakat keseluruhan. Dalam sistem tersebut, tidak ada
kemungkinan untuk beberapa individu mengambil kesempatan mengumpulkan kekayaan
secara berlebihan, sementara mayoritas rakyat dibiarkan susah payah dalam
memenuhi keperluan pokok hidupnya.
F.
KESIMPULAN
Setelah
penulis melakukan kajian mendalam terhadap sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis, maka penulis dapat memberikan jawaban atas pertanyaan “Sistem
ekonomi Islam : lebih dekat ke Kapitalis atau Sosialis?” sebagaimana berikut:
Sistem
ekonomi Islam tidak bisa dikatakan lebih dekat ke Kapitalis, juga tidak bisa
dikatakan lebih dekat ke Sosialis. Hal ini disebabkan karena sistem ekonomi
Islam memiliki semua kelebihan yang ada pada sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis sekaligus, tetapi tidak memiliki kelemahan sebagaimana kelemahan yang
dimiliki oleh kedua sistem tersebut.
Dengan
demikian, posisi sistem ekonomi Islam adalah berada pada titik keseimbangan
antara sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Dikatakan berada
pada titik keseimbangan, karena sistem ekonomi Islam menyeimbangkan tujuan
kemaslahatan hidup antara duniawi dan ukhrawi yang dalam Kapitalis dan Sosial
hanya ditujukan untuk kemakmuran hidup di dunia semata. Kemudian Islam
menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan sosial yang dalam Kapitalis
hanya mementingkan individu dan dalam Sosialis mementingkan kehidupan sosial,
dalam arti bahwa dalam Islam individu akan mengeluarkan pendapatannya secara
lebih ekonomis tanpa mengganggu keseimbangan ekonomi masyarakat keseluruhan,
karenanya Islam menganjurkan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
golongan kaya saja (QS Al-Hasyr: 7). Selanjut Islam menyeimbangkan hak
kepemilikan terhadap harta, dimana Islam memberikan kebebasan untuk memiliki
harta, di sisi lain juga meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan harta.
Sementara itu, Kapitalis menganut hak kepemilikan tak terbatas (mutlak)
terhadap harta, dan Sosialis yang tidak mengakui adanya kepemilikan individu.
Jadi, sistem
ekonomi Islam lebih tepat dikatakan berada pada posisi keseimbangan antara
kapitalis dan sosialis, tidak lebih dekat kepada Kapitalis maupun Sosialis.
Sistem ekonomi Islam lebih cocok sebagai pembawa misi keadilan ekonomi bagi
semua umat manusia.
Wallahu
a’lam
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Abdul Husain al-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip
Dasar dan Tujuan, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I,
Jakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1995.
Al-Kailani,
Ibrahim Zaid et.al, Dirasat fi al-Fikri al-‘Arabi al-Islami, Amman: Dar
al-Fikr, 1995.
Al-Khatib,
Abdul Karim, Al-Siyasah al-Maliyah fi al-Islam wa shilatuha bi al-Mu’amalat
al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Fikr Al-‘Arabi, 1976.
Bello,
Walden, Deglobalization, London: Pluto Press, 2004.
Callinicos,
Alex, An Anti Capitalist Manifesto. Cambridge: Polity Press. 2003.
Deliarnov,
Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama, 1995
Djiwandono,
Sudrajad, Integrasi Pasar Keuangan dan Globalisasi serta Dampaknya terhadap
Kebijakan Moneter Indonesia, Kuliah Umum di FE-UGM, Yogyakarta
Gilpin,
Robert. The Challenge of Global Capitalis : The World Economy in 21 Century.
Princeton: Princeton University Press, 2002.
Gregory
Stuart. Comparative Economic System. Boston, 1982.
Grosmann,
Gregory. Sistem Ekonomi, Jakarta, Bumi Aksara, 1986.
Hadi, Muhammad Kapitalisme, Sosialisme dan
Pancasilaisme, artikel di www.google.com, 2006.
Hamid, Edy
Suandi. Neoliberalisme, Globalisasi Ekonomi, dan Perekonomian Indonesia,
Pidato Guru Besar, Yogyakarta, 2005.
Hudiyanto, Ke
luar dari Ayun Pendulum Kapitalisme-Sosialisme. Yogyakarta: UMY Press, 2004
Jhingan,
M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta. Penerbit Rajawali, 1992.
Khor, Martin
Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan. Yogyakarta: Cindelaras,
2003..
Lane, Jan
Erik, Ekonomi Politik Komparatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa.
1994.
Merrett,
David, Global Management Issues, University of Melbourne, Melbourne,
2005.
Mubyarto, Membangun
Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE, 2000.
Mubyarto, Reformasi
Sistem Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 2000.
Perkins,
John, Confessions of an Economic Hit Man, Berret-Koehler, AS, 2004.
Pilger,
John, The New Rulers of The World, Verso, UK, 2002.
Robinson,
Joan. (1979). Aspects of Development and Underdevelopment. Cambridge:
Cambridge University Press.
Rodrik,
Dani, The Globalization Gone Too Far? Washington DC: Institute For
International Economics, 1997.
Seda, F, Membangun Ekonomi Pasar Sosial.
Suara Karya Online, 2006.
Setiawan,
Bonnie. Ekonomi Pasar Yang Neoliberalistik Versus Ekonomi Yang Berkeadilan
Sosial, makalah Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial”,
‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’, 12 Juni 2006,
DPR-RI, Jakarta.
Shipman,
Alan. The Globalization Myth. Cambridge: Icon Books LTD, 2002.
Stiglitz,
Joseph E. Globalization and Its Discontens. London: Penguin Books, 2002.
Stiglitz,
Joseph E. The Roaring Nineties : Seeds of Destruction. London: Allen
lane, 2003.
Swasono,
Sri-Edi, Daulat Rakyat VS Daulat Pasar. Yogyakarta: Pustep-UGM, 2005.
Swasono,
Sri-Edi. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas.
Yogyakarta: Pustep-UGM, 2005.
Taqiyuddin
al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996.
Wayne,
Ellwood, No-Nonse Guide to Globalization. Oxford: New International
Publication, 2001.
Wolf, Martin,
Why Globalization Works? New Heaven and London: Yale University Press,
2004.
Memuat...
by: Imron agung khoirudin/5/9/14