MAKALAH
KONSEP IKHLAS DALAM ILMU TASAWUF
Dosen : Dra. Djamiatul Islamiyah, M.Ag.
Di susun oleh
:
Danang Adi
Utomo 111-14-217
Merlina Fitria
Muthoharoh 111-14-255
Siti Ana
Rumiati 111-14-238
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
IAIN SALATIGA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas. Sebagaimana diterangkan dalam
ayat Al-Qur'an (QS. Az-Zumar: 65):
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh,
telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika
engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau
termasuk orang yang rugi.".
Dengan ikhlas kita tidak akan
tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula kita tidak akan
menjadi orang yang riya’ atau sombong, karena sombong itu merupakan sifatnya
iblis.
1.2. Rumusan Masalah
· Apakah yang dimaksud dengan ikhlas
?
· Apakah konsep ikhlas dalam ilmu
tasawuf ?
· Apa sajakah pembagian derajat
ikhlas ?
· Apakah keutamaan ikhlas ?
· Apakah makna ikhlas kepada Allah
?
· Apasajakah aplikasi terhadap ikhlas
lillahi ta’alla ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Ikhlas
Ikhlas yaitu
melaksanakan suatu amal hanya karena Allah SWT. Ikhlas merupan roh atau jiwa
dari setiap amalan. Suatu amalan tanpa didasari oleh adanya hati yang ikhlas
maka amalan tersebut mengambang dan tidak nakan diterima oleh Allah SWT.
Menurut
syari’ah (islam) yang dimaksud dengan makna ikhlas adalah mengerjakan ibadah
atau kebajikan karena Allah SWT semata-mata mengharap keridhoan-Nya.
Ibnu Athaillah berkata dalam kitab Al Hikam, “Amal
perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa) nya adalah tempat
terdapatnya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan”.[1][1]
Menurut
Syayyid Sabiq dalam bukunya Islam muna hal 36,
ikhlas adalah : “Bahwa menyengaja manusia dengan perkataannya karena
Allah semata-mata dan karena mengharap keridhaan-Nya. Bukan karena mengharap
harta, pujian, gelar (sebutan) kemasyuran, kemajuan. Amalnya di angkat dari
kekurangan-kekurangan dan dari akhlak yang tercela, dan demikian ia menemukan
kesukaan Allah.”[2][2]
Seorang ahli
himah mengumpamakan ikhlas itu laksana air dalam tanaman. Ilmu itu diibaratkan
seperti benih, dan amal laksana tumbuh-tumbuhan. Perumpamaan yang diambil ahli
himah tersebut, dapatlah diambil pengertian sebagai berikut: Tumbuh-tumbuhan
itu baru akan berbuah bila dirawat, disiram dengan air, sehingga dapat berbuah
dengan mendatangkan faedah. Air dalam kehidupan adalah laksana ikhlas. Jadi
dengan berlandaskan kepada keikhlasan sajalah suatu perbuatan itu dapat
berfaedah bagi yang mengerjakannya di hadapan Allah SWT.[3][3]
Ikhlas
merupakan inti amal dan penentu diterima tidaknya suatu amal di sisi Allah yang
Maha Tahu. Amal tanpa ikhlas bagaikan amal tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon
tanpa buah, awan tanpa hujan, anak tanpa garis keturunan, dan benih yang tidak
tumbuh.[4][4]
Oleh karena itu, sehebat apapun suatu amal bila tidak ikhlas, tidak ada
apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi
luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan ikhlas. Tidaklah heran
seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu
resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari
itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keikhlasan.
2.2. Konsep
Ikhlas dalam Ilmu Tasawuf
Beramal adalah
inti dari eksistensi (keberadaan) manusia di dunia, karena tanpa amal manusia
akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah sebagai
khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Sebagaimana di awal surah Al-Mulk ayat
ke-2 Allah berfirman :
اَلَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَ الْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ العَزِيْزُ الغَفُوْرُ
Artinya : “Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Akan tetapi, tidak cukup dengan beramal saja,
karena Allah akan menghitung segala amal yang kita lakukan dari niat dan
keikhlasan. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia dan tidak berguna di
hadapan Allah SWT.
Ikhlas itu
tidak berarti pasrah , ikhlas itu menerima dengan baik apa yang terjadi, dengan
tetap berusaha mencapai apa yang kita inginkan. Ikhlas, menerima, dan sabar
adalah sebuah kunci dalam menjalani hidup yang lebih baik.[5][5]
Secara
bahasa, ikhlas artinya membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan
pencemaran, baik berupa materi ataupun immateri). Adapun secara istilah yaitu:
membersihkan hati supaya menuju kepada Allah semata, dengan kata lain dalam
beribadah, hati tidak boleh menuju kepada selain Allah.
Dari definisi
diatas, ikhlas merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal untuk
menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana kewajiban yang mencerminkan motivasi
bathin kearah beribadah kepada Allah dan kearah membersihkan hati dari
kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak menuju kepada Allah. Dengan
satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan niat untuk berbuat hanya karena
Allah.
Seseorang dikatakan memiliki sifat ikhlas
apabila dalam melakukan perbuatan, ia selalu didorong oleh niat untuk berbakti
kepada Allah dan bentuk perbuatan itu sendiri dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya menurut hukum syariah. Sifat seperti ini senantiasa terwujud baik
dalam dimensi fikiran ataupun perbuatan.[6][6]
2.3. Pembagian Derajat Ikhlas
·
Ikhlas Awam, yaitu: Dalam
beribadah kepada Allah, karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap siksa
Allah dan masih mengharapkan pahala.
·
Ikhlas Khawas, yaitu:
Beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya menjadi orang yang
dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan sesuatu dari
Allah SWT.
· Ikhlas Khawas al-Khawas adalah: Beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang
mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah
Tuhan yang sebenar-benarnya.
Dari penjelasan
diatas, tingkatan ikhlas yang pertama dan kedua masih mengandung unsur pamrih
(mengharap) balasan dari Allah, sementara tingkatan yang ketiga adalah ikhlas
yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan sesuatu apapun dari
Allah kecuali Ridha-Nya.[7][7]
2.4. Keutamaan Ikhlas
Ikhlas adalah
salah satu akhlak yang mulia. Setiap muslim diharapkan dapat melaksanakannya
dalam beramal dan beribadah. Amalan adalah jasadnya dalam beragama, sedangkan
keikhlasan adalah roh bagi manusia dalam beragama. Jasad tanpa roh tak akan ada
artinya seperti seonggok mayat yang terbujur kaku tiada harganya. Demikian juga
dengan amal ibadah tanpa adanya keikhlasan adalah satu hal yang sia-sia tanpa
guna, seperti melukis di atas permukaan air yang tidak akan ada bekasnya.
Banyak
sekali keutamaan dari ikhlas bagi perjalanan hidup seorang mukmin dalam
menggapai kebahagiaan hidupnya, diantaranya adala:
1. Menjadikan
berbuahnya amal ibadah
2. Menghindarkan
diri dari penyakit rohani
3. Terhindar dari
godaan iblis
Karenanya Islam sangat mendorong umatnya
untuk beramal shaleh sebagai pancaran dari iman yang dimiliki dalam kaitan
dengan hal itu juga dinyatakan agar semua yang dilakukan itu didasari dengan
keikhlasan, sebab manusia ini akan dinilai amalnya yang lahir dari keimanan,
keislaman dan keikhlasan. Dan sesungguhnya kebahagiaan manusia itu akan
ditentukan oleh amal usaha dan keikhlasan.[8][8]
Keikhlasan
seseorang dapat dilihat dari raut muka, tutur kata, serta gerak gerik
perilakunya yang selalu tenang dan damai. Seseorang yang selalu meratapi apa
yang terjadi, menyesali kesalahan atau kekeliruan yang dibuat dan terpaku pada
waktu mereka yang terbatas hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan
keputusasaan. Dengan adanya keikhlasan menerima apa yang terjadi, akan membuat
kita menerima dengan ikhlas apa yang kita miliki, apa yang terjadi, dan apa
yang menimpa kita, maka tidak akan ada lagi sesuatu yang menjadi beban, karena
dibalik sebuah permasalahan pasti akan muncul kemudahan.
2.5. Makna
Ikhlas Kepada Allah
Ikhlas karena
Allah SWT, merupakan satu sifat yang mencakup keikhlasan terhadap dzat-Nya,
kepada asma-Nya dan kepada sifat-sifat-Nya, ikhlas keada perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya yang berkaitan dengan urusan agama, serta ikhlas menerima
qodho’ dan qadar-Nya yang menjadi keputusan-Nya yang bersifat alamiah. Berikut
kita dapat mengetahui penjelasannya secara global:
1. Ikhlas Kepada
Dzat Allah
Maksud dari
pernyataan dari ikhlas kepada dzat Allah adalah setiap muslim mesti mengesakan
Dzat-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan makhluk seperti dengan manusia atau
makhluk ghaib, baik dalam masalah Rubbubiyah maupun Uluhiyah-Nya, dalam
mencintai dan beribadah. Tidak mencintai terhadap manusia atau benda lainnya
melebihi cinta kepada-Nya. Tidak menjadi abdi selain hanya kepada-Nya, tidak
mengikuti sesuatu yang tidak sesuai dengan titah-Nya, dan tidak menjadi
pengikut apapun atau siapapun yang tidak mungkin menyamai atau melampaui
derajat-Nya.
Ikhlas kepada
Allah dalam pengertian asma’ dan sifat-Nya adalah tidak memiliki cara pandang
yang atheis (ilhad). Maksudnya wujud keikhlasan kepada asma’Nya ialah dengan
tidak mencabut pengertian yang ditunjukkan oleh asma’ itu sedikitpun. Itu
dikarenakan semua asma’ Allah adalah elok (husna) dan menunjukkan kepada
sifat-sifat-Nya.
2. Ikhlas Kepada
Sifat Allah
Ikhlas kepada
sifat Allah yang dimaksudkan adalah meyakini akan kesempurnaan Allah SWT dengan
seluruh sifat-sifat-Nya dan tidak ada dzat lain yang dapat menyamai bahkan
melebihi kesempurnaan-Nya.
Dengan
demikian ikhlas kepada sifat Allah itu ditunjukkan dengan sifat ketergantungan
muslim hanya kepada-Nya. Disaat mengharapkan rahmat atau pertolongan maka tiada
lain adalah hanya kepada Allah semata. Sementara jika bantuan atau pertolongan
itu datang dari sanak famili, sahabat, atau dari orang yang tidak kita
kenalpun, sesungguhnya itu hanyalah jalan penyampaian saja.
3. Ikhlas
Terhadap Perintah dan Larangan Allah
Dalam
pelaksanaan syariat agama, setiap penganutnya diwajibkan menjalankan setiap perintah
dan menjauhi segala larangan yang berasal dari Allah SWT. Pelaksanaan dari
segala perintah dan menjauhi segala larangan yang ada, itu merupakan barometer
keikhlasan seseorang terhadap perintah dan larangan Allah ini.
Untuk
mengenali kapasitas besar atau kecilnya keikhlasan kita kepada perintah dan
larangan Allah, dapatlah terlihat dalam realisasinya dalam kehidupan. Jika
seorang mendapatkan satu perintah atau pekerjaan yang dalam pelaksanaannya
jelas bertentangan dan dimurkai Allah SWT, kemudian orang itu dengan sengaja
melaksanakannya maka itu menunjukkan bahwa perintah tadi lebih tinggi
kedudukannya dari pada perintah Allah.
4. Ikhlas
Terhadap Qodho’ dan Qodar Allah
Sebagai
makhluk Allah tentunya setiap muslim akan paham dan mengetahui bahwa dalam
penciptaannya di bumi ini akan membawa qodho’ dan qodarnya sendiri-sendiri.
Artinya setidaknya mengerti dan memahami bahwa setiap manusia yang tercipta ini
mempunyai kemampuan dengan batasan yang telah ditetapkan oleh sang pencipta.
Yang jelas semua ketetapan itu jelas didasarkan kepada kasih sayang dan
keadilan kepada makhluk-Nya.
Sebagai pengukur besar atau kecilnya rasa
ikhlas terhadap qodho dan qodar Allah terhadap diri seseorang adalah seberapa
besar atau ada dan tidaknya penentangan dalam hati seseorang terhadap turunnya
satu takdir dari takdir-takdir yang telah ditetapkan kepada kita.[9][9]
2.6. Aplikasi
Terhadap Ikhlas Lillahi Ta’alla
Kita telah
mengetahui bahwa keikhlasan itu terpusat kepada dua perkara yaitu: 1) Kepada
dzat Allah, Asma’ dan sifat-Nya 2) Kepada perintah dan larangan-Nya yang
berkenaan dengan perkara keagamaan juga titah dan perintah-Nya yang berkenaan
dengan perkara alaiah (penciptaan). Untuk mengetahui keikhlasan cinta terhadap
Allah ini dalam hal ini akan kita uraikan dalam 3 point penting sebagai
berikut:
1. Ikhlas Cinta
Kepada Allah
Aplikasi cinta
kepada Allah yang terinci melalui keikhlasan kepada dzat, asma’ dan sifat
Allah, paling tidak akan menuntut kepada dua hal penting, yaitu: Ilmu dan Amal perbuatan
Dalam hal ilmu
ini kita ditujukan kepada pemahaman kita bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat
menyerupai-Nya dan tidak ada satu pun yang bisa berinteraksi langsung
dengan-Nya. Namun interaksi hanya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Memanjatkan do’a kepada-Nya dan Dengan memahami qodar-Nya.
2. Ikhlas
Menerima Perintah dan Larangan Allah
Maksud dari ikhlas menerima perintah dan larangan Allah
disini adalah perasaan kepatuhan terhadap apa yang menjadi ketentuan dari Allah
SWT sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan nantinya walaupun secara rasional
hal tersebut dianggap sebagai satu usaha menghalangi pencapaian kenikmatan yang
seluas-luasnya baik secara lahiriah maupun batiniah ketika hidup di dunia.
Dalam hal ini
sebenarnya menunjukkan bahwa adanya satu tuntutan kepada setiap muslim untuk
selalu menghormati perintah-perintah dan setiap larangan-larangan Allah, serta
alasan yang menghentikan diri setiap muslim untuk menggapai ridho Allah dengan
berpedoman kepada perintah dan larangan tersebut.
Sementara untuk sikap menghormati yang menjadi satu
tuntutan bagi seorang muslim sebagaimana dimaksudkan dalam alinea diatas,
paling tidak hidupnya haruslah tercermin didalam lima hal, yaitu:
1.
Pengetahuan (Ma’rifat)
2.
Menggugurkan dorongan kebiasaan kemudian menunduknya
kepada perintah dan larangan Allah
3.
Menggugurkan dorongan hawa nafsu dan menundukkannya
kepada perintah dan larangan Allah
4.
Memberlakukan hukum syara’ terhadap akal, bukan sebaliknya
Hendaklah
perhatian tidak hanya berhenti kepada perintah dan larangan itu sendiri.
3. Ikhlas
Menerima Perintah Qodho’ dan Qodar Allah
Ikhlas menerima perintah qodho’ dan qodar Allah di sini
kita dituntut untuk mengetahui bahwa perintah-Nya itu ada kalanya sejalan
dengan kesenangan diri hamba atau bahkan sangat bertentangan dengan
keinginannya. Qodho’ yang sesuai dengan keinginan hamba itu paling tidak
tentang kesehatan, kekayaan, kesembuhan, kelezatan, kekayaan, kesembuhan, dan
kenikmatan-kenikmatan lainnya. Karenanya keikhlasan menerima qodho dan qodar
Allah itu semestinya di dasarkan kepada tiga hal, yaitu:
a.
Kesadaran untuk bersaksi bahwa seluruh kenikmatan dan
anugerah itu datangnya dari Allah SWT dengan penuh kasih sayang yang
dilimpahkan-Nya.
b.
Menumbuhkan rasa syukur dalam diri atas segala kenikmatan
yang diterimanya. Menggunakan anugerah dan kenikmatan yang didapatnya guna
kepentingan dan penyebaran perkara-perkara yang diridhoi dan dianjurkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya.[10][10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ikhlas
merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal untuk menuju kepada Allah.
Oleh karena itu, sehebat apapun suatu amal bila
tidak ikhlas, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang
sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan
ikhlas. Dengan satu pengertian, bahwa
ikhlas merupakan ketulusan niat untuk berbuat hanya karena Allah.
Daftar Pustaka
Al-Bailawi,
Abu Muhammad bin Said.(2007).The True Power of Ikhlas. Yogyakarta.
Hijrah CMG.
Aly, Nur.(2012).Ikhlas Tanpa Batas:Belajar
Hidup tulus dan Wajar kepada 10 Ulama-Psikolog Klasik.Pati:Zaman.
Syam, Yunus Hanis.(2008). Quantum Isam,Yogyakarta:Optimus.