Secara Sinergis,
simultan dan konsisten
Oleh Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi
Proyek besar yang telah lama digagas dan
dirintis oleh para tokoh pemikir dan pembaharu Muslim baik di Timur Tengah
mapun di belahan bumi seperti di anak benua Indo-Pakistan, di dunia Melayu, dan
di dunia Barat adalah Membangun Kembali Peradaban Islam. Dengan
segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan dan keberhasilan yang dicapai oleh
para pendahulu kita, kita berkewajiban untuk mengambil pelajaran dari mereka
dan menyusun strategi baru bagi kelanjutan proyek tersebut.
Proyek ini semakin penting untuk dibahas kembali dan perlu terus
direalisasikan secara perlahan-lahan. Sebab stigmatisasi masyarakat Barat
terhadap Islam dan umat Islam dengan "fundamentalisme, terrorisme,
ekslusifisme" dsb. yang marak akhir-akhir ini berangkat dari asumsi bahwa
Islam hanyalah denominasi agama dan kepercayaan yang menghasilkan fanatisme.
Akibat stigma ini umat Islam bersikap responsif dan reaktif sehingga cenderung
hanyut ke dalam bahasa-bahasa peperangan psikis (psy-war) yang tidak
produktif bagi dialog peradaban. Mereka seakan melupakan fakta bahwa Islam
adalah sebuah agama yang telah terbukti mampu berkembang menjadi peradaban yang
bermartabat yang kaya dengan konsep dan sistem kehidupan yang teratur selama
berabad-abad lamanya.
Masyarakat dunia kini memerlukan dialog dalam bahasa peradaban,
bukan hanya dalam bahasa agama. Disini identitas masing-masing peradaban perlu
diperkenalkan kembali, untuk kemudian ditemukan sisi perbedaan dan persamaan
agar dapat ditentukan bentuk kerjasama dan batas-batas toleransi yang dapat dan
harus dipegang.
Secara internal proyek pembangunan peradaban Islam merupakan jawaban
konprehensif bagi berbagai persoalan yang menggelayuti kehidupan umat Islam
dewasa ini. Oleh karena itu diperlukan pembahasan yang agak radikal (dari
radiksnya), yaitu dengan merujuk konsep-konsep dasarnya di atas mana peradaban
Islam pernah dibang un dan akan kita bangun kembali.
1. Makna
Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai dÊn, sejatinya telah memiliki
konsep seminalnya sebagai peradaban. Sebab kata dÊn itu sendiri telah
membawa makna keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan
manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah
yang adil.[1]
Artinya dalam istilah dÊn itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh
sebab itu ketika dÊn (agama) Allah yang bernama Islam itu telah
disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama MadÊnah.[2]
Dari akar kata dÊn dan MadÊnah ini lalu dibentuk akar kata baru madana,
yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan
memartabatkan.[3]
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang
secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota
berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture
of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan
– kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah
judul buku TÉrÊkh al-Tamaddun al-IslÉmÊ (Sejarah Peradaban Islam),
terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas
dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk
pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon
dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madÊnah
atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet
dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini
menggunakan kata haÌÉrah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak
banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun.
Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk
pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhÊb.
a. Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar
Romawi, Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawÉ')
ditolak dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek "sa uhÉjim al-rËm
min uqri baitÊ" (Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan
Nabi ini bukan genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik
dan juga tidak menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan
risalah yang dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang
tandus, Nabi yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan
mengalahkan Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih dari setengah abad
sesudah wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan
Asia Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ketangan Alexander
the Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh
Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada tahun
711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan Muslim
dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup makmur.
Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu dapat
menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu mulai
melawan Muslim.[4]
Demitri Gutas dengan jelas mengakui:
…..pada tahun 732 M
kekuasaan dan peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang
diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia Tengah dan anak
benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.[5]
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam,
Mesir untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat
dipersatukan secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India
dalam jangka waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang
memisahkan dua dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang
yang dibatasi oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor
tunggal. Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan
bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan oleh
lima faktor: pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi
kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh
Lombards; ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang
Arab yang beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri
terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya
Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat. [6]
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai
faktor, seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan,
keuangan dan militer. Dan di antara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi
adalah datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang diplomatis itu nampaknya terbukti.
Nabi tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya
gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan
Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai dÊn yang
menghasilkan tamaddun yang dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain
bangsa Arab. Sebab Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat,
sehingga mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam
diterima oleh bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya alias
kekuatan pancaran pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek
surat Nabi sambil berkata :”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku
sedangkan ia adalah budakku”, Nabi pun berkomentar pendek “Semoga Allah
merobek-robek kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa sesudah itu
putera Kaisar yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar
Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja
lamanya. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali
dalam masa empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat
mengangkat kaisar Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika
tentara Islam datang. Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi, Nabi tidak keluar
rumah untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia. Nabi hanya
menyerbarkan Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki konsep
ketuhanan, kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di Indonesia, Islam
masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah
memiliki kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam
mudah merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka
dalam kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu
karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan)
masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber
alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan
kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke
kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat
Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat
berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
b) Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya
ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic,
kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan
dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang
terpenting dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu
pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.
Karena itu suatu peradaban atau suatu umrÉn harus dimulai dari suatu
“komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrÉn besar.
Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota.
Dari kota itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan
kehidupan yang daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya
lahirlah suatu Negara. Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara,
kota Cairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari
komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu
umrÉn bagi Ibn Khaldun di antaranya adalah berkembanganya teknologi,
(tekstil, pangan, dan papan / arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek
kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda
lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif
menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih
terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana
Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban,
menolak agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah
sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan
bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai
asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada
Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawÍÊd), supremasi
kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan
terhadap keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi
berdasarkan petunjuk dan perintahNya (syariat).[7]
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa
agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala
seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah
agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan
spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan
manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut
sebagai peradaban itu.[8]
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama
serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang
pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi
lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview)
merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak
yang menggunakan worldview sebagai matrik atau framework. Ninian
Smart menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi,
Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam,
Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk
perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn
dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakan worldview
bagi kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka
pada umumnya mengaitkan worldview dengan peradaban atau seluruh
aktivitas ilmiyah,sosial dan keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian
perbandingan agama, memberi makna worldview sebagai “kepercayaan,
perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai
motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.”[9]
Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan sosial dan
moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai
“sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan
tentang makna eksistensi”.[10]
Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan Acikgence memaknai worldview
sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktivitas-aktivitas
ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat dilacak pada
pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan
hidup itu.[11]
Dalam konteks sains, hakekat worldview juga dapat dikaitkan dengan
konsep “paradigma” Thomas S Kuhn[12].
Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung
sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi
pandangan hidup). Sebab, paradigma mengandung konsep nilai,
standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework
konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[13]
Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala
aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting
adalah bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata
pikir, dan tata nilai memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas
manusia dari yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian
menjadi peradaban bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi
perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah,
maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik
secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang
memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang disebut
pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur
al-IslÉmÊ, al-mabda al-IslÉmÊ) itu.[14] Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi
medium pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut dÊn, yang di
dalamnya terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya
sendiri. Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami NazariyÉt
(Islamic Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep
keesaan Tuhan (shahÉdah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan
kehidupan manusia di dunia....secara menyeluruh”.[15]
Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-taÎawwur al-IslÉmÊ,
yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan
hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan
apa-apa yang terdapat dibalik itu.”[16]
Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’
al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena
itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu
kepercayaan yang berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan
akal.[17]
Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi
non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti aqÊdah fikriyyah. S.M.Naquib
al-Attas mengartikan worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang
realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan
hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total,
maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat
al-IslÉm li al-wujËd).[18]
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah
pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata
pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan
pandangan tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu
teologi (aqÊdah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata
nilai dan seluruh kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika
pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar
dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan
termanifestasikan dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran
masyarakat atau bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan
sistem kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah
pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah
pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari
akumulasi tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang
menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk
kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[19]
Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa
akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan
intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian
pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya
memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya.
Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana
ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini
pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih
mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari
pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam
merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita
rujuk tradisi intelektual Islam.
c). Tradisi intelektual Islam
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam
pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam
merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam
dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal,
Makkah akhir dan periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan
alam Islam. Di dalam al-Qur'an ini terkandung konsep-konsep seminal yang
kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin,
tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang
dalam al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama
sehingga memiliki berbagai definisi.[20]
Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci
dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya
berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu
peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh
tradisi intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki
medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah
dan komunitas intelektualnya disebut AsÍÉb al-Suffah.[21]
Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadith-hadith
Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.[22]
Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya[23]
tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya
tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut
orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan
kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb
al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan
belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual
dalam Islam.[24]
Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi
pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri,
SalmÉn al-FÉrisi, 'Abd AllÉh ibn Mas'Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah
berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh
generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad
lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi
keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (w.80H/ 699M), Muhammad ibn
al-×anafiyyah (w.81/700), Umar ibn 'Abd al-'AzÊz (w.102/720) Wahb ibn Munabbih
(w.110,114/719,723), ×asan al-BaÎri (w.110/728), Ja'far al-ØÉdiq (w.148/765),
AbË ×anÊfah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), AbË YËsuf (w.182/799), al-ShÉfi'i
(w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara
epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview), yaitu
pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih yang menjadi asas
epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut. Dengan adanya konsep yang
canggih para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat akhirnya dapat
mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep
tersebut berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific
conceptual scheme.[25]
Dari konsep 'Ilm ini pula kemudian lahir berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak, Hisab, Mawarith, Kalam,
tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam
dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di Andalus Spanyol.
Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai
berikut:
….pada masa peradaban agung [wujud] di
Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus
pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang
masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka
sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu.
Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki
puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia
mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universtias penting
berada.[26]
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah banyak
mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga tiga buku terakhir
Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-Platonis, karya-karya penting
Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim
untuk proses asimilasi.[27]
Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah. Menurut
Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman Abbasiyah didorong oleh
motif sosial,politik dan intelektual.[28]
Ini berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa, pengusaha dan
cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural
sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani tersebut.
Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan
mengasimilasikannya dengan ajaran Islam.[29]
Jadi proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya ummat
Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam telah mencapai
kematangannya dengan pandangan hidupnya yang kuat. Di situ sains, filsafat dan
kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup
Islam.[30]
Produk dari proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari
pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani. Bandingkan
misalnya konsep jawhar para mutakallimun dengan konsep atom
Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan Alfred Gullimaune yang menyatakan
bahwa framework, ruang lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri
dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam.[31]
Sejatinya pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim tidak
mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim lebih berani
memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat Kristen Barat Abad
Pertengahan. Muslim bahkan mampu mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal
dan wahyu dapat berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi
menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat Kristen Barat Abad Pertengahan
yang mengaku mengetahui karya-karya Yunani, ternyata tidak mampu
mengharmoniskan filsafat, sains dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang
mendorong para teolog Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami
khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen kedalam aliran
Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa Kristen memahami Yunani melalui
pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim
didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di Spanyol mestinya
adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol adalah satu-satunya lingkungan
kultural Muslim yang dominan, padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan
kebudayaan Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting
peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah semaraknya
kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam menggambarkan peradaban Islam Ibn
Khaldun membahas secara panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan
dikembangkan di kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa
dan agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic),
ilmu hukum waris (farÉ’Ì), geometri, mekanik, penelitian, optik,
astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran, pertanian,
metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.[32]
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibn Khaldun di atas, pemikiran
yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya faktor
tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk
kekuatan politik dan militer serta kesanggupan berjuang untuk meningkatkan
kehidupan merupakan faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan
peradaban. Selain itu Ibn Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas
antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi ('umrÉn)
semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula sebaliknya. Ilmu akan
berkembang hanya dalam peradaban (haÌÉrah) menjadi besar yang penduduk
perkotaannya meningkat.
2. Sumbangan Islam kepada
Barat
Untuk melihat watak atau karakteristik peradaban Islam, ada baiknya
jika dilihat dari apa yang disumbangkan Islam kepada peradaban lain, khususnya
Barat. Atau dengan perkataan lain apa yang dimanfaatkan peradaban lain dari
Islam telah menunjukkan karakter peradaban Islam itu sendiri. Fakta sejarah
membuktikan bahwa di Spanyol orang-orang Kristen tenggelam kedalam apa yang
disebut sebagai Mozarabic Culture.[33]
Kultur Islam yang dominan inilah mungkin yang memberi sumbangan besar bagi
lahirnya pandangan hidup baru di Barat. Morris menggambarkan bahwa kontak dan
konflik antara Kristen-Yahudi dan Muslim memberi stimulus tidak saja kepada
bangkitnya ideologi dan intelektualitas Eropa Abad Pertengahan, tapi juga
imaginasinya.[34]
Maksudnya keingintahuan orang-orang Barat tumbuh ketika menyadari bahwa
Muslim memiliki pandangan hidup yang canggih (sophisticated) dan ilmu
pengetahuan yang kaya lebih dari apa yang terdapat di dunia Latin. Inilah yang
sebenarnya terjadi.
Dari
perspektif teori terbentuknya pandangan hidup[35]
kita dapat menyatakan bahwa Spanyol adalah tempat dimana Barat menyerap
aspirasi dari Muslim bagi pengembangan pandangan hidup mereka. Atau
setidak-tidaknya, Barat memanfaatkan pertemuan mereka dengan Muslim untuk
memperkaya pandangan hidup mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Barat
menempuh berbagai macam cara untuk mentransfer aspek-aspek penting pandangan
hidup Islam yang berupa konsep-konsep itu. Jayusi mengkaji dan menemukan bahwa
model transformasi kultur Islam ke dalam kebudayaan Barat ada lima: pertama,
melalui cerita-cerita dan syair-syair yang ditransmisikan secara oral oleh
orang-orang Barat. Kedua, dengan cara kunjungan atau turisme, pada abad
ke 7 M, Cordoba adalah ibukota negara Islam yang menonjol dan merupakan kota
yang paling berperadaban di Eropa, dan karena itu orang Eropa berduyun-duyun
mengunjungi tempat ini untuk belajar dari peradaban Islam. Ketiga, waktu
itu terdapat hubungan perdagangan dan politik resmi melalui utusan yang dikirim
dari kerajaan-kerajaan di Eropa. Keempat, dengan cara menterjemahkan
karya-karya ilmiyah orang Islam. Faktanya, monastri-monastri Eropa, khususnya
Santa Marie de Rippol, pada abad 12 dan 13 M memiliki ruangan penyimpan
manuskrip bagi sejumlah besar karya-karya ilmiyah orang Islam untuk mereka terjemahkan.
Kelima, untuk kelancaran proses penterjemahan raja-raja Eropa mendirikan
sekolah untuk para penterjemah di Toledo, tepat sesudah pasukan Kristen merebut
kembali kota tersebut pada tahun 1085. tujuannya adalah untuk menggali ilmu
pengetahuan Islam yang terdapat pada perpustakaan-perpustakaan bekas jajahan
Muslim itu.[36]
Namun, kebangkitan Barat tidak terjadi langsung sesudah
proses tranformasi tersebut di atas. Sebab tidak ada peradaban yang bangkit
secara mendadak dan tiba-tiba, sekurang-kurangnya diperlukan waktu satu abad
lamanya bagi suatu peradaban untuk bangkit. Islam sendiri bangkit menjadi
sebuah peradaban yang memiliki konsep-konsep kepercayaan, kehidupan, keilmuan
dan lain sebagainya sesudah beberapa abad lamanya. Dari awal kemunculannya pada
abad ke 7 M, Muslim baru dapat dianggap sebagai peradaban yang kuat pada abad
ke 10 M, di saat mana para cendekiawannya mampu menguasai ilmu pengetahuan
Yunani, Persia dan India, dan kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang
telah disesuaikan dengan konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam. Ilmu-ilmu yang dihasilkan di
antaranya adalah matematika, kedokteran, farmasi, optik
dan lain-lain. Ini bukan sekedar sistematisasi ilmu pengetahuan Yunani, seperti
yang diduga para orientalis,[37] tapi menyangkut hal-hal yang detail dan bahkan
menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam bidang sains, sehingga hasilnya sains
dalam Islam yang - dalam bahasa Willian McNeil - "went beyond anything
known to these ancient preceptors".[38]
Dengan datangnya Islam yang menyatukan kawasan-kawasan
Timur Dekat kedalam kekhalifahan Islam, kepeloporan di bidang sains berpindah
ketangan orang-orang Islam dan bertahan hingga abad ke 12. Namun, menurut Ahmad
Y al-Hassan, professor sains di Universitas Toronto, sains Islam masih
berkembang dan Muslim masih menjadi pelopor sains pada abad ke 13 hingga ke 16,
khususnya di negara-negara Islam bagian Timur.[39]
Sebab pada tahun 1259 di Maragha didirikan Observatorium astronomi dan terus
beroperasi hingga tahun 1304. Observatorium ini memiliki perpustakaan dengan
400.000 judul buku, dan didukung oleh para saintis yang mumpuni di
bawah pimpinan NaÎr al-DÊn al-TËsÊ. Mereka itu adalah
QuÏb al-DÊn al-ShirÉzÊ, Mu’ayyid al-DÊn al-UrdÊ, MuÍyi al-DÊn al-MaghribÊ dan
lain-lain. Lembaga ini bukan hanya institusi pengkajian dalam bidang astronomi,
tapi juga merupakan sebuah akademi yang memberi kesempatan untuk kerjasama
dengan lembaga lain dan bertukar pikiran dengan saintis lain.
Lebih canggih dari Maragha adalah observatorium yang
didirikan di Samarqand. Sponsornya adalah Ulugh Beg putra mahkota yang juga
saintis. Observatorium ini selesai dibangun pada tahun 1420 dan terus
beroperasi hingga tahun 1470 an. Yang terlibat dalam pusat sains ini adalah
ahli astronomi matematika terkenal GiyÉth al-DÊn JamshÊd al-KÉshÊ, QÉdizada
al-RËmÊ dan ‘AlÊ ibn Muhammad al-QËshjÊ. Observatorium yang terakhir dalam
Islam dibangun di Istanbul tahun 1577, di zaman kekuasaan Sultan Murad III
(1574-1595). Pendiri dan Direkturnya adalah TaqÊ al-DÊn Muhammad ibn Ma’rËf al-RashÊd
al-DimashqÊ.
Pusat-pusat kajian sains tersebut tidak bertahan lama
karena pada abad-abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi dan politik ummat
Islam mulai melemah sehingga kerja saintifik kehilangan momentumnya. Dukungan
moral dari masyarakat pun semakin mengecil. Al-Hassan berasumsi bahwa jika
ummat Islam tidak kehilangan kekuatannya, dan jika ekonomi ummat Islam tidak
rusak dan jika stabilitas politik tidak terganggu dan jika para ilmuwan itu
diberi waktu lebih lama lagi untuk berkreasi, maka mereka akan berhasil
melebihi apa yang dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton. Sebab model
planetarium Ibn ShÉÏir dan astronomer Muslim lainnya ternyata telah membuktikan
adanya sistem heliosentris lebih dulu 200 tahun dari Cipernicus.
Sebaliknya Eropa yang pada waktu itu secara ekonomis
mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimiliasi buku-buku filsafat dan sain
dalam Islam. Oleh karena itu tidak heran jika karya-karya ilmuwan Eropa Abad
Pertengahan tidak lepas dari karya-karya terjemahan dari bahasa Arab. Maka dari
itu sejarawan mencatat bahwa perkembangan Eropa Barat yang terjadi pada pertengahan
abad ke 13 merupakan kombinasi elemen yang dinamakan Greco-Arabic-Latin.
Meskipun begitu di Eropa nama-nama saintis Muslim tidak menonjol bahkan tidak
banyak mereka sebut secara eksplisit. Yang pasti setelah mereka mentransfer
filsafat dan sains dari Islam Eropa pada akhir abad ke 15 konsep-konsep mereka
tentang alam semesta dan ilmu pengetahuan menjadi matang dan melapangkan jalan
bagi perkembangan filsafat dan sains di Barat.
Kristen di Barat menjadi kekuatan kultural yang menonjol,[40] dan Eropa mencatat peristiwa sejarah yang disebut
Revolusi Sains (Scientific Revolution). Itulah sumbangan penting
peradaban Islam terhadap peradaban Barat.
Meskipun demikian kita tidak bisa
mengambil kesimpulan bahwa karena konsep-konsep penting di dalam kebudayaan
Barat itu hasil adapsi dari peradaban Islam, maka kita dapat mengambil kembali
begitu saja konsep-konsep itu langsung dari Barat, tanpa proses. Sebab
orang-orang Barat mengambil konsep-konsep itu dengan proses epistemologis yang
panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsep-konsep yang sudah tidak lagi
dapat dikenali konsep aslinya, yaitu Islam. Hal yang sama dilakukan orang Islam
ketika mengadapsi warisan Yunani. Professor Cemil Akdogan memberi contoh bahwa David
Hume, yang meniru konsep dan pandangan al-GhazzÉlÊ tentang hubungan kausalitas,
ternyata memodifikasinya sehingga menjadi sekuler, dan hasilnya berbeda dari
konsep al-Ghazzali sendiri.[41]
3.
Kemunduran Peradaban Islam
Setelah
mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji
sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil
pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan
tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu
atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik,
maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan
pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya.
Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi
menjadi faktor eksternal dan internal - berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan
dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor
internalnya.
Untuk
menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk
paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey
Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20.[42]
Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
1.
Faktor
ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana
negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga
penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis
ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil,
Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan
kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan
luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam
seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam.
Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan
oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah
penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis
yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target
serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara
Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
2.
Faktor
eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam
kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga
1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”,
menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme
barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan
agama sebagai medium psikologisnya.”[43]
Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti
Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun
1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan
Mesir.[44]
Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
3.
Hilangnya
Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai
petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang
melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan
ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat
Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos
pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda,
Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia
perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa
Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah
kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta,
jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk
Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh
kualitas yang tinggi.
Sebagai
tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah
peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi.
Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan
bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh,
negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis
mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris
memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani
sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah
penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam
di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam
merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis
melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai
kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan
tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan
dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.[45]
Itulah di
antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di
atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis
dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di
tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone
inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan
hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor
penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal.
Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran
penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah.
Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi
moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan
amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat
dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji
cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk
tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu,
menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.[46]
Tindakan-tindakan
amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya
merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa
dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke
negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena
mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya
produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu
pengertahuan dan ketrampilan.[47]
Dalam
peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian
kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas
masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang
mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata
pencaharian mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus,
maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka
benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan
kehancuran peradaban.[48]
Lebih
lanjut ia menyatakan:
Jika
kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya
juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.[49]
Intinya,
dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur
dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh
yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana
merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan
keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya
kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan
al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan
pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban
dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2)
penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4)
orientasi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak
secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9)
Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang
secara tidak tepat.[50]
Kesepuluh
poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya
penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi
moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur
dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan
kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan
Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak
berjalan.”[51]
Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa
sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian
Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu
Cairo.[52]
Itulah
sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para
sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan
pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16
hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad
ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat
Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.
4. Membangun Kembali peradaban
Islam
Membangun kembali peradaban Islam memerlukan
beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya
peradaban Islam dimasa lalu, kedua, memahami kondisi ummat Islam masa
kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi ummat
Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah
memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam. Yang pertama telah kita bahas
di atas, dimana telah digambarkan mengenai cara-cara bagaimana kejayaan
peradaban Islam itu dicapai dan bagaimana kejatuhannya itu terjadi. Sedangkan
yang kedua akan kita bahas khususnya untuk mencari solusi yang berupa
langkah-langkah strategis dan juga praktis. Pada saat yang sama kita perlu
memahami Islam dengan menggali konsep baru dalam berbagai bidang sehingga dapat
membentuk bangunan baru peradaban Islam yang mampu menghadapi tantangan zaman.
Artinya dengan konsep-konsep Islam kita dapat bersikap kritis ataupun
apresiatif terhadap konsep-konsep yang datang dari luar Islam.
a.
Kondisi Ummat Islam
Setelah perang dunia kedua banyak negara
Islam yang telah merdeka dan kemudian mengembangkan kembali ekonomi mereka yang
telah hancur. Dengan keterbatasan yang ada sejatinya ekonomi ummat Islam dewasa
ini masih berpotensi untuk bangkit. Dengan letak geografis yang menurut Ibn
Khaldun ideal, kini negara-negara Islam menduduki daerah-daerah yang kaya minyak
dan sumber alam lainnya. Selain itu, ummat Islam masih mampu melahirkan
figur-figur pemimpin politik yang handal, pakar-pakar dalam berbagai bidang
sains seperti pakar nuklir, pakar industri pesawat terbang, pakar bedah syaraf
dunia, peraih hadiah noble bidang fisika dan lain sebagainya. Yang lebih
penting lagi adalah bahwa peradaban Islam memiliki sumber rujukan, al-Qur’an
dan Hadith yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force)
yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis:
Bangsa-bangsa datang dan pergi.
Kerajaan-kerajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus
mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers),
pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang
mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau
tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan di sisi
lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai
kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga? [53]
Jadi,
secara optimistik sejatinya kondisi ummat Islam secara umum pada dekade ini
tidaklah seburuk kondisi ummat Islam pada saat kekhalifahan Islam jatuh ke
tangan musuh. Namun, jika kita lebih bersikap introspektif maka akan kita temui
bahwa umat Islam kini belum mampu berprestasi seperti, apalagi mengungguli,
prestasi ummat Islam di zaman dulu. Muslim kini lebih banyak menguasai
ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh kebudayaan dan pandangan hidup Barat. Berikut
ini akan diidentifikasi apa akar masalah yang menggelayuti ummat Islam saat ini
dan apa langkah-langkah yang perlu diprioritaskan untuk segera diambil dalam
rangka membangun peradaban Islam.
b.
Identifikasi Masalah Umat
Salah
satu ciri terpenting peradaban Islam adalah perhatiannya terhadap ilmu
pengetahuan.[54]
Dan ini telah terbukti bahwa perjalanan panjang peradaban Islam diwarnai oleh
lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang dengan prestasi dalam bidang
masing-masing. Salah satu pertanda kemunduran ummat Islam yang banyak disoroti
adalah merosotnya prestasi cendekiawan Muslim dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam. Meskipun ada pula yang menyoroti kemunduran dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu, pada dekade ini banyak tokoh
cendekiawan dan pemimpin Muslim yang perduli akan kemunduran ummat Islam yang
mencoba menawarkan pemikiran pembaharuan atau strategi pembenahan kondisi
ummat.
Jika
digambarkan secara umum pemikiran pembaharuan atau pembenahan ummat Islam maka
akan kita dapati beberapa kelompok. Pertama Kelompok cendekiawan yang
berusaha memperbaharui bidang sosial dan politik, seperti misalnya Jamaluddin
al-Afghani (1838-1897), Mohammad Rasyid Ridha (1865-1935), Dr. Abdurrazzaq
Sanhuri Pasha (1895-1971), [ketiganya dari Mesir], Abu al-A’la al-Maududi dan
sebagainya;
Kedua kelompok cendekiawan yang menitikberatkan pada pendidikan dan
pemahaman ulang ajaran Islam agar sesuai dengan tantangan modern. Termasuk
dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh
(1849-1905), Sir Syed Ahmad Khan, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Di antara
kelompok ini (Ahmad Khan, Abduh) berkesimpulan bahwa kelemahan umat Islam
adalah di bidang sains dan teknologi. Untuk mengatasi masalah ini mereka tidak
hanya menempuh jalur pendidikan, tapi menyarankan agar Muslim melakukan
interpretasi ulang agama Islam dengan menekankan aspek intelektual agar ummat
bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru
yang ada di Barat.
Ketiga kelompok cendekiawan yang berusaha membenahi ilmu pengetahuan dan
pendidikan Islam. Mereka itu adalah Sultan Selim III (1789-1807), Sultan Mahmud
II (1807-1839) hingga ke Pasha Muhammad ‘Ali di Mesir (1803-1849) dan
sebagainya. Mereka menyadari pentingnya pendidikan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan Islam dan karena itu reformasi pendidikan adalah cara yang terbaik
untuk membangkitkan ummat Islam. Mereka malah menekankan bidang militer dan
ilmu teknik, yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang ilmu yang lain.[55]
Keempat, adalah kelompok cendekiawan yang bergiat mencari konsep-ekonomi
Islam dan bahkan di antaranya mendirikan lembaga-lembaga ekonomi ummat, seperti
lembaga keuangan Islam, bank Islam, ekonomi syariah dsb. di antara tokohnya
adalah Umer Chapra, Khursyid Ahmad dsb.
Keempat
trend pembaharuan tersebut tidak dapat dipahami secara rigid, artinya
kelompok yang menekankan politik dipastikan tidak memperhatikan pendidikan, dan
kelompok yang menekankan pembenahan ekonomi tidak memperhatikan pengembangan
ilmu pengetahuan. Muhammad Ali misalnya, selain membenahi pendidikan ia juga
mengembangkan ekonomi dan juga bergerak dalam bidang politik. Pengelompokan di
atas hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa masing-masing kelompok memberi
prioritas kepada bidang tertentu yang menjadi andalannya. Implikasinya akan
dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil dari masing-masing kelompok.
Ada yang bersifat praktis dengan target jangka pendek, ada pula yang strategis
yang dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Tidak
sepenuhnya berbeda dari kelompok-kelompok di atas, al-Attas dalam Risalah
Untuk Kaum Muslimin yang selesai ditulisnya pada awal tahun 1973, melihat
bahwa kebanyakan pemimpin ummat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti
permasalahan yang menggiring ummat kedalam kancah ketidakberuntungan ini. Ia
menyatakan :
Kini
sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi
ini sesungguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran
kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah…orang Islam
telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang
dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi
pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan
makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan
pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri
yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari
pandangan hidup agama dan kebudayaan lain.[56]
Apa yang
disimpulkan oleh al-Attas di atas adalah benar adanya. Kalau di zaman dulu
problem yang dihadapi ummat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti
agresi militer, instabilitias politik, keterpurukan ekonomi, kerusakan
moralitas masyarakat dan pemimpin, maka di zaman kita sekarang ini tantangan
ekstern dan internnya lebih kompleks dan bermuara pada masalah ilmu
pengetahuan.
Di sini
al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang
memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali.
Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi
kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar
adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam
adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Jadi
tantangan eksternal ummat Islam dewasa ini yang berbentuk ilmu pengetahuan itu
adalah derasnya arus pemikiran Barat yang masuk kedalam pemikiran Muslim dalam
bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nalai Barat. Berikut akan
dijelaskan problem ekternal dan internal sekaligus.
c. Tantangan
Pemikiran dan Dampaknya
Berpegang pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan
pandangan hidup adalah ujung tombak dan soko guru suatu peradaban, maka
tantangan ekternal yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah ilmu pengetahuan yang
bersumber dari kebudayaan Barat. Barat
sendiri adalah peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa
unsur yaitu filsafat dan nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, serta agama Yahudi
dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa.[57] Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh
berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang
sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan dan dipraktekkan sehingga
membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional
diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan
konsep-konsep yang berguna bagi pemnbentukan kehidupan yang aman, tenteram dan
damai.
Identitas
peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan
postmodernisme. Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul
dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad
industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri
zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh
paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikhotomis,
desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu
modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme,
kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.[58]
John Lock, salah seorang filosof Barat modern
menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan
pluralisme agama adalah inti modernisme.
Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme,
baik bersifat moderat dan ekstrim.[59]
Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang
lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya.
Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada
paham-paham baru seperti nihilisme, [60] relativisme, pluralisme dan persamaan gender (gender
equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai
kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme,
rasionalisme dan pluralismenya. Itulah
sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai
dunia. Untuk mempermudah gambaran tentang peradaban Barat modern dan postmodern
berikut
diagram tentang modernisme dan postmodernisme.
Dampak dari paham, aliran dan pemikiran yang dibawa
modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam
(epistemologi) cukup besar. Secara etimologis istilah modernisasi telah
menggantikan istilah tajdid dalam Islam. Secara epistemologis modernisme
dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan
penggunaan rasio - dalam pengertian reason bukan ‘aql – dalam
memahami masalah-masalah keagamaan. Fazlur Rahman misalnya mengakui bahwa kaum
modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan
masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis.[61]
Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada tokoh
cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan
terminologi Islam ia berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu
pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan,
maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub)
kepada Tuhan Yang Maha Esa.[62]
Istilah-istilah yang digunakan adalah murrni Barat,
sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Banyak
persoalan yang perlu dijelaskan. Jika yang ia maksud modernisasi adalah tajdid,
tentu membawa banyak persoalan. Jika yang ia maksud adalah sekedar peningkatan
taraf hidup Muslim maka ia tidak serta merta berarti taqarrub kepada
Allah. Demikian pula dalam memahami makna rasionalisasi. Ia pisahkan
rasionalisasi dari rasionalisme, yang berarti penggunaan akal. Jika demikian
maka dalam pendapat ini tidak ada yang baru. Al-Qur’an telah memerintahkan
penggunaan akal dalam berbagai ayatnya. Yang diperlukan sekarang bukan hanya
sekedar menggunakan akal, tapi bagaimana konstruk epistemologi Islam yang harus
dibangun. Sebab konsep akal dalam Islam tidak sama dengan rasio dalam
pengertian Barat, dan menggunakan akal atau berfikir (yatafakkar) dalam
al-Qur’an harus dibarengi dengan berzikir menggunakan qalb (yadhkuru). [63]
Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran
Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu
sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah
"menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan
melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan
idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam"
dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis.[64]
Gagasan ini mengadopsi pemikiran
Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen,
dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam
ajaran Islam.
Menurut Nurcholish, konsep tentang dunia
sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan
duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga,
sekularisasi adalah proses penduniawian.[65]
Disini Nurcholish seakan akan ingin agar kehidupan dunia ini tidak dianggap
hina dan rendah oleh ummat Islam sehingga lari dari padanya. Implikasinya tentu
ia berharap agar kehidupan dunia ini dianggap mulia dan tinggi serta harus
dihadapi. Tapi ternyata ia justru memisahkan nilai-nilai spiritual yang
sebenarnya memuliakan dan mennggikan kehidupan dunia itu. Disini sekularisasi
masih berarti pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam materi (disenchantment
of nature). Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat
(kata, kalimat, tanda symbol) yang merupakan manifestasi lahir ataupun batin
dari Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia
memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan.
Sekularisasi justru mendorong orang untuk
tidak menghormati alam dan kehidupan dunia. telah mengikis dan menghilangkan
hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis
antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia
akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan di
atas muka bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga
demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah
menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya’ untuk kemudian berlaku tidak adil
terhadap alam.[66]
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi
agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan
akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.[67]
Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang
sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan
pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri
kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam
Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik
sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan
menjadi sekularisisme (secularizationism).[68]
Sejalan dengan gagasan rasionalisasi dan sekularisasi
Nurcholish Madjid, Dr.Harun Nasution mencanangkan gagasan rasionalisasi.
Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Berbeda dari
Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan
doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Canada dengan thesis
berjudul "Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh". Latar
belakang pendidikannya dan pergaulannya dengan ulama-ulama di Mesir memperluas
pengetahuannya tentang tradisi pemikiran Islam. Karya-karyanya [69]
yang ia tulis setelah kepulangannya dari Canada dijadikan buku teks terutama
dilingkungan IAIN.
Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologis
Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi
ummat Islam yang dipakai ummat Islam pada kejayaannya di zaman Abbasiya adalah
teologi rasional Mu'tazilah. Ia bahkan mengatakan bahwa selama ummat Islam
mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin
Ash'ariyyah, maka hampir mustahil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan
negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.[70]
Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan dan tidak
berupa konsep-konsep baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang
berhasil membawa Islam ketingkat peradaban yang tinggi masih perlu pembuktian
lebih jauh. Sebab setelah al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah berkuasa,
peradaban Islam masih terus eksis dan prestasinya lebih baikdari al-Ma’mun
pendukung Mu’tazilah. Al-Hassan menyatakan:
But with his
ortodoxy and fanaticism….al-Mutawakkil like al-Ma’mun was patron of science and
scholarship and re-opened the Dar al-Hikmah, granting fresh endowment. The best
work of translation was done during his regn. He was generous patron of
scientific research. The best work of Dar al-Hikmah was done under
alk-Mutawakkil.[71]
Kritiknya terhadap teologi Ash'ari yang hanya
difokuskan pada qada dan qadar hanya menunjukkan pembelaan
terhadap teologi Mu'tazilah saja. Dan ini lebih cenderung membatasi pemikiran
Islam hanya pada diskursus yang terjadi dalam Kalam. Ini justru
mempersempit Islam itu sendiri. Selain itu gagasan Islam Rasional tidak
mendalam sampai kepada pembahasa tentang arti, peranan dan kedudukan akal dalam
Islam dalam kaitannya dengan wahyu. Dalam salah sub bab dalam bukunya Islam
Rasional yang berjudul :"Masalah Akal dan Akhlak" ia tidak
menjelaskan masalah secara mendalam. Demikian pula dalam bukunya Akal dan
Wahyu dalam Islam, ia banyak mengutip ayat-ayat tentang pentingnya berfikir
rasional dan mengungkapkan berbagai pandangan ulama terdahulu dan kita hampir
tidak dapat menemukan konsep Harun sendiri tentang hubungan keduanya secara
teoritis dan konseptual. Jadi teologi rasionalnya Harun masih dalam tingkat
gagasan dan belum berupa konsep baru apalagi untuk disebut sebagai
Neo-Mu'tazilah.
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit
merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini
dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution
cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong
menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme,
pluralisme, equality (persmaaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah
terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend
pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan
perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan
opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend
pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan
orientalis di Barat.
Cara berfikir dichotomis yang melihat Islam dengan
pandangan ganda Islam historis-Islam normatif, Islam liberal dan Islam literal,
kebenaran obyektif dan kebenaran subyektif, berfikir tekstual dan kontekstual
adalah cara pandang yang berdasarkan pandangan hidup manusia Barat.[72]
Pendekatan seperti ini pada gilirannya akan mempersulit kita dalam
mengkonseptualisasikan epistemologi Islam dan konsep otoritas dalam Islam.
Terbukti dengan berfikir dichotomis seperti itu para cendekiawan justru semakin
kritis terhadap tradisi dan khazanah pemikiran Islam daripada mengapresiasi
secara kreatif dan sikap kritisnya terhadap Barat menghilang. Tuduhan
Nurcholish bahwa ummat Islam memahami tradisi seperti dogma, misalnya, bukan
alasan yang tepat untuk meninggalkannya. Dalam setiap agama selalu ada
unsur-unsur dogmatisnya, bahkan dalam dunia sains yang rasional sekalipun
aksioma-aksioma itu dipegang melebihi agama.
Walhasil,
Upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat
seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang
memang menekuni khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran
Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya
oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum
memadahi untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang
lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung
mengkopi konsep-konsep Barat modern dan postmodern. Kerancuan di sana sini
tidak dapat dihindarkan. Sebab makna dan tujuan ilmu serta beberapa konsep ilmu
yang di miliki umat Islam itu tercampur oleh pendekatan kebudayaan dan
pandangan hidup Barat. Paham, ide, nilai dan filsafat ilmu Barat modern dan
postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akibatnya, Muslim
berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan
menggunakan pemahaman, nilai, ide, pendekatan dan bahkan terminologi Barat.
Konsep yang dihasilkan, boleh jadi tidak lagi compatible dengan
pandangan hidup Islam. Mulanya memang sekedar pemikiran atau konsep tapi
implikasnya akan masuk ke sistem pendidikan dan akhirnya akan membentuk
pandangan hidup. Jika pemikiran Muslim sudah terbaratkan, maka bidang-bidang
lain akan ikut dengan sendirinya.
Untuk itu apa yang diperlukan dalam kajian Islam di
Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai
pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat khususnya tentang pandangan
hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam
melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian
atau kontemporer. Namun masalahnya ummat Islam sendiri masih menghadapi problem
internalnya.
d. Problem pendidikan Islam
Selain problem keilmuan yang berasal dari masuknya
konsep-konsep, ide-ide dan paham-paham asing, secara internal ummat Islam juga
memiliki problem yang tidak kalah seriusnya. Problem yang pertama adalah
lemahnya tradisi pengkajian ilmu-ilmu pengetahuan doktrinal maupun pengetahuan
spekulatif. Kelemahan ini mengakibatkan miskinnya konsep-konsep baru yang
rasional sehingga isu-isu yang dibawa oleh kelompok modernis ataupun rasionalis
yang sebenarnya tidak berasal dari tradisi intelektual Islam dianggap sebagai
sesuatu yang baru dan dianggap menyegarkan. Padahal ia lebih merupakan adopsi
dari pandangan Barat ataupun Orientalis yang masih perlu dikritisi. Tapi
lagi-lagi tradisi kritik (naqd) belum menjadi mekanisme intelektual yang
mapan.
Masalah ini menjadi lebih serius lagi jika dikaitkan
dengan pembentukan disiplin ilmu baru dalam Islam. Tradisi mengadakan kajian
dalam satu bidang pemikiran Islam belum bisa tumbuh sebagaimana kajian dalam
bidang ilmu-ilmu sekuler, karena kekurangan sumber daya manusia ataupun belum
wujudnya komunitas untuk itu. Ini berarti keahlian cendekiawan kita masih belum
terklassifikasikan dalam disiplin ilmu tersendiri. Satu konsep dalam satu
bidang kajian masih bercampur campur dengan konsep-konsep dalam bidang lain dan
bahkan konsep-konsep yang diambil dari konsep asing masih belum sempurna
diasimilasikan kedalam pandangan hidup Islam. Nampaknya semua cendekiawan dapat
berbicara tentang semua masalah karena dianggap mengerti semua masalah,
sehingga kita sulit menemukan seorang cendekiawan yang menekuni satu bidang
khusus dan menghasilkan konsep-konsep Baru. Dalam perkembangan selanjutnya
ketika masyarakat ilmiah semakin dewasa dalam memahami Islam spesialisasi dalam
suatu bidang ilmu agama menjadi tuntutan masyarakat yang tidak dapat
dihindarkan dan dari situ akan muncul disiplin ilmu Baru dalam Islam yang lahir
dari pandangan hidup Islam.
Oleh sebab itu, klassifikasi
ilmu yang dicanangkan al-Ghazzali yang berupa farÌu 'ayn dan farÌu
kifÉyah dapat dikembangkan dalam konteks kekinian. Ilmu farÌu 'ain dapat
diartikan sebagai compulsory subject bagi mahasiswa atau pelajar Muslim
yang berupa ilmu-ilmu agama yang asasi tergantung tingkat pendidikannya.
Tingkat universitas misalnya TafsÊr, hadÊth, syarÊ’ah, teologi (ilmu
Kalam), metafisika dapat dimasukkan kedalam ilmu farÌu 'ain. Ilmu FarÌu
KifÉyah adalah ilmu yang tidak mesti dituntut oleh semua Muslim, termasuk
di dalamnya ilmu manusia, ilmu alam, ilmu terapan, perbandingan agama,
kebudayaan Islam dan Barat, ilmu bahasa dan sastra, sejarah Islam dsb.[73]
Pembagian ilmu faÌu 'ayn dan farÌu kifÉyah ini tidak perlu
difahami secara dikhotomis, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu
pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Ia harus dilihat dalam
perspektif kesatuan integral atau tawÍÊdi, di mana yang pertama
merupakan asas dan rujukan bagi yang kedua.
Tapi masalahnya dalam
kurikulum pendidikan Islam, pengajaran ilmu-ilmu farÌu 'ayn yang
berhubungan dengan keimanan dan kewajiban-kewajiban individu berhenti pada
jenjang pendidikan rendah atau menengah dan tidak dilanjutkan pada tingkat
universitas. Konsep hirarki ilmu pengetahuan ilmu farÌu 'ayn dan farÌu
kifÉyah itu belum banyak dikenal di kalangan lembaga pendidikan
Islam, jikapun dikenal ia masih banyak disalahpahami atau masih belum
dikonseptualisasikan serta dipraktekkan secara akademis. Pembagian ini perlu
ditekankan pada jenjang perguruan tinggi. Sebab masalahnya berkaitan dengan
konsep ilmu (epistemologi).
Untuk mengidentifikasi
problem ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya di Indonesia,
ada baiknya dibahas situasi pada 3 institusi pendidikan Islam, yaitu pesantren,
madrasah dan perguruan tinggi Islam.
Sistem pendidikan
pesantren
Pesantren di Indonesia
terdiri dari dua sistem yaitu tradisional dan modern. Keduanya mempunyai missi tafaqquh
fÊ al-dÊn, artinya lembaga pendidikan yang bertujuan khusus mempelajari
agama. Pada pesantren tradisional missi ini dijabarkan secara kurikuler dalam
bentuk kajian kitab kuning yang terbatas pada Fiqih, Aqidah, Tata Bahasa
Arab, Hadith, Tasawwuf dan Tarekat, Akhlak, dan Sirah. Sementara itu bagi
pesantren modern missi ini diwujudkan dalam bentuk kurikulum yang diorganisir
dengan menyederhanakan kandungan kitab kuning sehingga bersifat madrasi dan
melengkapinya dengan mata pelajaran ilmu-ilmu yang biasa disebut "ilmu
pengetahuan umum". Pesantren tradisional yang mengkhususkan diri pada
kajian ilmu farÌu 'ayn terpaksan mengorbankan ilmu farÌu kifÉyah
dalam pengertian 'ulËm al-naqliyyah. Bahkan kajian ilmu farÌu 'ayn dengan
kekayaan kitabnya itu belum dapat memainkan perannya yang berarti terhadap
kajian disiplin ilmu farÌu kifÉyah di lembaga pendidikan Islam lainnya
atau pendidikan sekuler. Selain itu karena kelemahan metodologis pesantren
tradisional takhaÎÎuÎ pada satu bidang ilmu tertentu terlalu kaku,
sehingga menyulitkan kerja-kerja integrasi ilmu fardu ayn dan farÌu
kifayah. Di pesantren ini sangat sedikit sekali, atau bahkan mungkin tidak
ada, kajian 'ulËm al-'aqliyyah seperti logika, filsafat, metafisika, kalÉm,
kedokteran dan lain-lain. Ringkasnya, secara umum pembagian hirarki ilmu farÌu
'ayn dan farÌu kifÉyah tidak nampak jelas, bahkan ilmu farÌu
kifÉyah yang melibatkan kajian tentang alam dan hakekat manusia hampir
tidak mendapat tempat dalam kurikulum pesantren tradisional itu sendiri.
Pesantren modern yang
memahami tafaqquh fi al-dÊn dalam bentuk gabungan ilmu farÌu 'ayn dan
farÌu kifÉyah memang berhasil memberikan wawasan yang lebih luas
dibanding pesantren tradisional, namun sesungguhnya gabungan itu bukan
merupakan hasil integrasi 'ulËm al-naqliyyah dan 'ulËm al-'aqilyyah yang
didesain secara konseptual. Mata pelajaran Fisika misalnya masih belum
dikaitkan dengan mata pelajaran Usuluddin, mata pelajaran Sejarah Dunia tidak
mengandung Sejarah Islam atau peranan ummat Islam dalam sejarah dunia dan
sebagainya. Jadi kurikulum pesantren modern bukan merupakan hasil dari konsep
ilmu yang integral, tapi lebih merupakan kajian serempak ilmu farÌu 'ayn dan
farÌu kifÉyah. Jadi, masih terbuka kemungkinan akan adanya pandangan
dikhotomis para santrinya. Meskipun begitu sebenarnya dengan sistem madrasi-nya
yang mengharuskan pengajaran banyak materi mabÉdi' al-'ulËm (ilmu-ilmu
kunci) pesantren modern berpotensi untuk memproduk generalis dan lebih kondusif
untuk menanamkan pandangan hidup Islam dibanding pesantren tradisional. Kedua
sistem pendidikan pesantren ini sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk
diarahkan mengkaji ilmu pengetahuan Islam secara integral. Namun hal itu
tergantung kepada kapasitas kyai, ulama dan asÉtidhah-nya.
Sistem Pendidikan Madrasah
Sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan
pemerintah sebenarnya diharapkan mampu menciptakan pelajar-pelajar yang
mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.[74]
Sistem pendidikan madrasah mulanya didesain sebagai konvergensi kurikulum
pendidikan pondok dan sekolah umum yang sedikit banyak serupa dengan kurikulum
pesantren modern. Namun pengembangan program-program khusus atau jurusan
tertentu yang memisahkan ilmu farÌu 'ayn dan ilmu farÌu kifÉyah
dengan tanpa konsep yang jelas, peran madrasah dalam mengeliminir
dikhotomi ilmu dalam pendidikan Islam semakin tidak nampak. Di sisi lain
kegagalan sistem madrasah juga dapat dilihat dari fakta dimana prestasi
kebanyakan murid-murid madrasah dalam bidang "ilmu-ilmu agama" masih
tertinggal jauh dari prestasi santri-santri pondok pesantren dan dalam bidang
"ilmu-ilmu umum" pula mereka tidak bisa mengimbangi prestasi
murid-murid sekolah umum. Selain itu, sejauh ini nampaknya ilmu pengetahuan
umum (sekuler) tidak diajarkan dalam perspektif ilmu agama.
Sistem Perguruan tinggi
Islam
Terlepas dari peran
kemasyarakat yang dimainkan oleh sistem pesantren, kekurangan yang paling
menonjol adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengembangkan tingkat tingginya
atau perguruan tingginya. Yakni perguruan tinggi yang khas dibangun sebagai
kelanjutan tradisi intelektual Islam atau sekurang-kurangnya dibangun
berdasarkan pada tradisi keilmuan di pesantren. Padahal dulu hampir semua
pesantren memiliki program tingkat tingginya, yang di pesantren tradisional
disebut khawÉÎ dan di pesantren modern disebut pesantren tinggi, meskipun
tidak dilembagakan secara formal. Program itu kini sudah sangat jarang,
kalaupun tidak boleh dikatakan tidak ada. Kini di beberapa pesantren program
itu telah diganti dengan sekolah tinggi atau institut yang mengikuti kurikulum
Departemen Agama yang sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan kelanjutan dari
kurikulum pesantren. Ada pula pesantren yang mendirikan universitas dengan
fakultas yang mengikuti kurikulum Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi dan
produknya tentu yang tidak jauh beda dengan universitas umum. Gagasan dan usaha
untuk menghidupkan program Ma'had 'Óly sebagai lanjutan pendidikan
pesantren ternyata terhalang oleh kemiskinan konsep dan sumber daya manusia.
Jenjang pendidikan tinggi
dalam bentuk institut atau universitas yang merupakan lanjutan bagi kajian
ilmu-ilmu keislaman di pesantren nampaknya belum terwujud. Akibatnya khazanah
ilmu pengetahuan Islam tidak dikaji secara intensif, apalagi dikaji dan
difahami dalam konteks kekinian. Di Universitas-universitas Islam fakultas-fakultas
agama (farÌu 'ayn) tidak berperan menjadi rujukan atau menjadi asas bagi
fakultas-fakultas umum (farÌu kifÉyah), ia justru dimarjinalkan.
5. Membangkitkan tradisi keilmuan
Jika substansi peradaban Islam adalah pandangan
hidupnya, maka membangun kembali peradaban Islam adalah memperkuat pandangan
hidup Islam. Hal ini dilakukan dengan menggali konsep-konsep penting khazanah
ilmu pengetahuan Islam dan menyebarkannya agar dimiliki oleh kaum terpelajarnya
yang secara sosial berperan sebagai agen perubahan dan yang secara individual
akan menjadi decision maker.
Memperkuat pandangan hidup Muslim artinya memberi solusi terhadap
persoalan ummat secara fundamental dan integral. Pentingnya pandangan hidup
Islam ditekankan al-Attas dalam berbagai tulisannya, dan bahkan dalam kontek
pengembangan sains telah diformulasikan dengan baik oleh Prof. Alparslan
Acikgenc.[75]
Dengan pendekatan ini kita tidak perlu meletakkan dua pilihan yang saling
bertolak belakang, atau meletakkan Islam vis a vis Barat dalam setting
yang konfrontatif. Barat dan kebudayaan asing lainnya harus dilihat dalam
konteks kebutuhan yang bersifat konsepsional, dalam artian bahwa disatu sisi
Islam dapat "mengadapsi" atau meminjam konsep-konsep asing yang
sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi
lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran
bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan
manapun, termasuk Barat.
Untuk menggambarkan pentingnya pandangan hidup
Islam atau framework Islam dalam menerima dan menolak konsep-konsep
asing kita rujuk sinyalemen Professor Khurshid Ahmad, pakar Ekonomi Islam asal
Pakistan dibawah ini:
The capitalist and the Socialits model can have no
place as our ideal-types, although we would like to avail from all those
experience of mankind which can be gainfully assimilated and integrated within
the Islamic framework and can serve our own purpose wihtout in any way
impairing out values and norms. But we must reject the archytype of capitalism
and socialism. Both this model of development are incompatible with our value
system; both are exploitative and unjust and fail to treat man as man, as God’s
vicegerent (khalifah) on earth. Both have been unable to meet in their own
realms the basis economic, social, political, and moral chalenges of our time
and the real need of a humane society and a just economy.[76]
Terjemahan bebasnya adalah bahwa model [ekonomi]
kapitalis dan sosialis tidak bisa menjadi tipe ideal kita, meskipun kita akan memanfaatkan
semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan framework Islam, untuk dapat membantu
mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita.
Bahkan kita kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme. Kedua model
pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif,
tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia, sebagai khalifah
Allah dimuka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial,politik,
moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia
mereka sendiri.
Konsep pembangunan dalam Islam tidak sama dengan
konsep pembangunan kapitalis ataupun sosialis. Pembanguan ekonomi dalam
literatur umum terdiri dari serangkaian kegiatan ekonomi yang menyebabkan
pertumbuhan dalam produktifitas eknomi secara keseluruhan dan produktifitas
pekerja secara rata-rata, dan juga pertumbuhan rasio antara tenaga kerja dan
keseluruhan penduduk.[77]
Pembangunan ekonomi dalam Islam lebih luas dari itu, karena pembangunan ekonomi
adalah bagian dari pengbangan manusia. Disini fungsi Islam sebagai agama dan
pandangan hidup adalah memberi petunjuk bagi penembangan manusia sesuai dengan
arah dan garis yang benar. Tetap mempertimbangkan aspek-aspek eknomi, tapi
selalu dalam framework
pengembangan manusia seutuhnya.
Pernyataan Professor Khurshid di atas telah cukup
jelas menunjukkan pentingnya pandangan hidup atau dalam istilahnya framework Islam, dalam mengkaji ekonomi
asing dan mengembangkan ekonomi Islam. Berdasarkan framework itu maka pengembangan ekonomi
Islam bersifat komprehensif yang meliputi aspek-aspek moral, spiritual dan
material. Perkembangan merupakan tujuan dan aktivitas yang berorientasi pada
nilai, diarahkan pada perkembangan manusia dari berbagai dimensi. Moral dan
material, ekonomi dan sosial, spiritual dan fisikal tidak terpisahkan, demi
meraih kesejahteraan hidup dunia dan akherat. Dalam Islam fokus dari
upaya-upaya pembangunan adalah manusia. Pembangunan berearti pembangunan
manusia secara fisik dan lingkungan sosial ekonominya.
Barat atau kebudayaan asing lainnya dengan secara terbuka seharusnya
mengakui bahwa Islam memiliki pandangan hidup, filsafat dan kebudayaannya
sendiri yang harus diterima apa adanya dan tidak ada jalan rekonsiliasi,
meskipun tetap membangun sikap toleransi. Bagi mereka yang gagal memahami hal
ini secara akademis, baik Orientalis maupun intelektual Muslim, akan menganggap
bahwa penolakan konsep Barat dalam bentuk apapun akan selalu dihubungkan dengan
kecemburuan kultural dan religius (cultural and religious prejudice),
yang sebenarnya tidak perlu. Sementara bagi mereka yang benar-benar dapat
memahami esensi pandangan hidup Islam dan juga Barat akan dapat
mengidentifikasi lebih akurat perbedaan dan bahkan pertentangan pada keduanya
dan dapat dengan secara kritis menentukan apakah suatu konsep asing diterima
(diadapsi) atau ditolak sama sekali. Sesungguhnya, dalam suatu pandangan hidup
dan peradaban proses 'meminjam' atau adapsi adalah hal yang alami dan
ini telah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, tapi mengadopsi suatu
konsep tanpa proses tranformasi yang utamanya melibatkan pengetahuan dan
kesadaran akan pandangan hidup, tidak akan memajukan peradaban yang
bersangkutan tapi justru menghancurkan.
Dengan pendekatan integral melalui konsep
pandangan hidup Islam yang merujuk kepada tradisi intelektual Islam secara
kritis dan kreatif akan menunjukkan bahwa pemikiran dalam Islam itu bersifat
konseptual, integral dan memproyeksikan pandangan hidup Islam (worldview)
yang dinamis, teratur dan rasional yang dipancarkan oleh konsep Islam sebagai DÊn.
Secara teoritis, pandangan hidup Islam tercipta dari adanya konsep ilmu
pengetahuan dan pengembangannya yang dibentuk dari kerangka kerja sistem
metafisika Islam yang utamanya meliputi pengertian tentang kebenaran dan
realitas yang Mutlak. Dalam perspektif pandangan hidup inilah kita dapat
mengetahui apakah suatu pemahaman atau penafsiran tentang Islam yang berupa
ilmu pengetahuan, filsafat, sains dan lainnya itu benar-benar sesuai dengan
Islam dan sejalan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran yang
Diwahyukan (Revealed Truth). Jika terdapat penafsiran atau pemahaman
yang tidak sejalan maka perlu dikoreksi ulang (IÎlÉÍ) dengan apa yang
disebut dengan Perubahan Paradigma (paradigm shift), yang
berarti perubahan pandangan hidup dan sistem metafisikanya.
Dalam tradisi pemikiran Islam
aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid
yang hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang
sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali
kepada ajaran asal tidak selalu bisa difahami sebagai kembali kepada corak
kehidupan dizaman Nabi, tapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif.
Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau islah seperti
yang didefinisikan al-Attas mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan
manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis dan kultur kebangsaan
yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran
sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan
fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat
kemanusiaannya yang benar. Proses pembebasan ini sekarang dikenal dengan
sebutan Islamisasi. Dalam konteks zaman sekarang, proses ini
memerlukan pengetahuan tentang paradigma dan pandangan hidup Islam yang
tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat-pendapat para ulama
terdahulu yang secara ijmÉ' dianggap ÎaÍÊÍ. Selain itu diperlukan
juga pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya,
namun 'memahami' tidak selalu berarti 'mengambil konsep'. Kita, misalnya tidak
perlu mengambil konsep pembebasan dari pandangan hidup asing, sebab ia telah
inheren dalam pemikiran Islam dan pembaharuan Islam. Proses pembaharuan atau Islamisasi
yang merujuk kepada sumber asal ajaran Islam dan ulama yang memiliki
otoritas dibidangnya menunjukkan pembaharuan dalam Islam tidak bersifat evolusioner
tapi lebih bermakna devolusioner, dalam artian bahwa ia bukan
merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang terakhir lebih baik dari
yang pertama, tapi suatu proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep
asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat
pada masanya dan penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.
Sesungguhnya proses pembaharuan atau
Islamisasi yang berulang-ulang dalam tradisi pemikiran Islam ini telah di
ramalkan oleh Nabi sendiri dalam hadithnya tentang tajdid. (Sunan Abu
Dawud). Namun proses Islamisasi tidak melulu berarti menyesuaikan unsur-unsur
asing dengan Islam dan tidak pula bermakna bahwa ajaran asasi agama Islam itu
usang dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keadaan zaman yang terus menerus
berubah. Proses tajdid diperlukan karena pemahaman ummat Islam terhadap
ajaran Islam, dan bukan karena ajaran Islamnya, telah semakin jauh dari bentuk
dan sifat aslinya. Perlu ditekankan disini bahwa dalam tradisi Islam (sunnah)
setiap usaha pembaharuan (tajdid) pamahaman dan penafsiran Islam
selalu merujuk kepada kebenaran yang mutlak yang termaktub dalam al-Qur’an. Ini
sangat berbeda secara diametris dengan pemikiran dalam kebudayaan Barat yang
sifatnya terus menerus mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan
pasti, sehingga pendapat atau pemahaman yang baru mesti menolak pendapat yang
lama dan seterusnya. Pembaharuan dalam Islam bukan menolak atau menghapuskan
pendapat lama atau konsep asalnya tapi merupakan rekonseptualisasi yang kreatif
berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi dan
otoritas.
6. Membangun individu melalui
universitas
Untuk
memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target pendidikan
kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan
Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain
pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang
beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara
strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan
universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada
interpretasi yang benar terhadap ×ikmah IlÉhiyyah sehingga dapat
melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup
Islam.
Perlu
dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi
dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu.[78]
Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa
dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering
dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu
universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat.
Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu yang
menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber
daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah
hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan
dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya
universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan
pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan
pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat
rendah dapat diperbaiki.
Agar
universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka
sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun
universal (al-insÉn al-kulli atau al-insÉn al-kÉmil) dan mengarah
kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu
yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam
Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan
amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang
beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan
kemampuan dan potensi masing-masing".[79]
Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia.
Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh
paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas
segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa:
"manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah
ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada".[80]
Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran
Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.[81]
Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan
suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat
tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas
yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal
universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk,
konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-JÉmi’ah, al-kulliyah))
harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu
seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang
keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap
kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling
terkait.
Penyataan
al-Attas dalam hal ini sangat jelas.
“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang
berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa
yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan
aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi
dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia
universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu
bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya
dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.[82]
Karena universitas Islam modern yang
berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat,
maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan
sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup
Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di
universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang
seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim
modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan
terhadap otoritas ulama dan taqlÊd. Padahal kekebasan akademis bukanlah
berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik
adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik
(khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. TaqlÊd bukan berarti
mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang
mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.
Pengertian
ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih
muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih
pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati
atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada
pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. IjtihÉd
tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat,
khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.
Selain itu kurikulum di
Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman
ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fard Ayn
yang berupa AqÊdah, TawÍÊd atau UÎËluddÊn pada jenjang pendidikan rendah
dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan
tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi
Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau filsafat dan lain
sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan
tentang Din dikaji secara
mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi
fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu farÌu kifÉyah.
Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam
suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis:
obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu
pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum
pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan
dihilangkan.
Seharusnya
ilmu farÌu ayn bagi seorang mahasiswa UÎËluddÊn, misalnya tidak sama
dengan Ilmu farÌu 'ayn bagi siswa Madrasah 'Aliyah atau mahasiswa
fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu farÌu 'ayn
sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran epistemologis ilmu FarÌu 'ayn ini
pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk
kedalam ilmu farÌu kifÉyah, seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam,
sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya.
7. Sinegi Pembangunan Peradaban
Proyek
membangun kembali peradaban Islam tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui
satu dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi, simultan dan
konsisten. Untuk itu maka proyek ini perlu disadari bersama sebagai sesuatu
yang wajib (farÌ 'ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu
dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim. Sabda Nabi jelas
“Barangsiapa tidak perduli dengan urusan (masalah) ummat Islam maka ia bukan
bagian daripada mereka” (al-Hadith).
Jika kita
menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad maka kita akan temui gerakan
pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan
penterjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan seporadis
atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad:
seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer,
pengusaha dan bankers, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan
proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak
terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Dan yang terpenting, ia
dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiyah yang akurat dengan alat
filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan
tepat. [83]
Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian
dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual.
Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan
strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan
Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu. Mungkin
diagram dibawah ini dapat menggambarkan konsep tersebut.
Oleh sebab itu sebagai implikasinya, jika
ilmu memberi amunisi kepada seluruh pihak dari penguasa, pengusaha, pedagang,
politisi, militer, dan sebaginya maka semua pihak yang memerlukan ilmu perlu
menyokong proyek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Meskipun tidak dapat
sepenuhnya mendapat dukungan seperti di zaman Abbasiyah, sekurang-kurangnya
kesadaran semua pihak akan pentingnya ilmu pengetahuan Islam untuk semua bidang
kehidupan perlu ditanamkan. Masyarakat Muslim perlu terus menerus mendapat
pengarahan akan pentingnya bidang ini.
Secara materiel, ssedekah, zakat, infaq,
wakaf pribadi dan perusahaan-perusahaan Muslim perlu diarahkan bagi
pengembangan asas peradaban Islam ini, yaitu ilmu pengetahuan Islam. Selama ini
belum banyak zakat bagi aÎnÉf fÊ sabÊlillÉh yang diarahkan bagi
pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam. Demikian pula wakaf masyarakat pada
umumnya masih berupa tanah, dan masih langka sekali wakaf berupa buku-buku yang
sangat menunjang bagi kegiatan keilmuan. Secara sosial, penghargaan terhadap
ulama ataupun cendekiawan perlu dilakukan melalui berbagai event sosial,
agar apresiasi masyarakat terhadap ilmu meningkat. Namun penghargaan perlu
diberikan secara proporsional, artinya harus berdasarkan pada prestasi di
bidang keilmuan, bukan hanya sekedar reputasi sosial yang seringkali diukur
dengan standar jurnalistik.
Selanjutnya, karena spesialisasi dalam ilmu
pengetahuan baik agama maupun sekuler begitu kental, maka seorang sarjana satu
bidang tidak menguasai bidang yang lain. Dan yang lebih memprihatinkan lagi
sarjana ilmu keislaman buta ilmu-ilmu umum (sekuler) dan sarjana ilmu umum
tidak tahu sama sekali ilmu agama, meskipun mereka adalah Muslim. Dalam situasi
seperti ini diperlukan kerja bersinergi, dimana sarjana pakar ilmu syariah
misalnya bekerjasama dengan pakar-pakar ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu
sosiologi dsb, demikian pula sarjana pakar bidang usuluddin atau pemikiran
Islam berkolaborasi mengkaji sesuatu dengan pakar dibidang fisika, biologi dan
matematika. Dari kerja yang bersinergi ini maka potensi ummat Islam akan dapat
menghasilkan karya-karya yang dapat dimanfaatkan oleh ummat.
Jika dukungan masyarakat terhadap
pembangunan ilmu pengetahuan Islam ini telah muncul dan kolaborasi para ilmuwan
Muslim dapat terjalin, maka mekanisme penyebaran (desimination) ilmu
ketengah-tengah masyarakat akan timbul. Artinya, dengan adanya kesadaran
masyarakat akan pentingnya ilmu-ilmu Islam, produk dari kajian ilmu pengetahuan
Islam yang dihasilkan oleh pusat studi Islam atau lembaga-lembaga pendidikan
Islam memperoleh saluran penyebaran yang efektif. Media pendidikan formal, dan
informal seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, internet,
ceramah-ceramah tokoh diharapkan dapat menjadi medium penyebaran ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai Islam.
Jika masyarakat tidak mendukung gerakan
pengkajian Islam tersebut, maka keadaan seperti yang kita saksikan sekarang.
Hasil seminar, penelitian dosen, workshop, konferensi dan lain-lain hanya akan
berhenti di tingkat elit saja dan tidak tersebar ke tengah masyarakat. Inilah
yang sering disebut dengan intellectual mechanism.
7. Penutup
Peradaban Islam adalah peradaban yang
dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup
Islam. Maka dari itu, pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari
pembangunan ilmu pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan
ekonomi dari pada ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan
berperan meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan
ekonomi menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan
seseorang untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang
dihadapinya adalah faktor ilmu pengetahuan. Lebih penting dari ilmu dan
pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah intelektual. Ia
berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide dan pemikiran
tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan pemikiran para
intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta yang terdapat
dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para pemikir, seperti
Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam Smith dan
sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah pemikiran
masyarakat. Demikian pula dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama
seperti Imam Syafii, Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain
sebagainya mempengaruhi cara berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka.
Jadi membangun peradaban Islam harus dimulai dengan membangun pemikiran umat
Islam, meskipun tidak berarti kita berhenti membangun bidang-bidang lain.
Artinya, pembangunan ilmu pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi
seluruh gerakan Islam. Wallahu a’lam bissawab.
WassalÉmu 'alaikum waraÍmatullÉh
wa barakÉtuh
Gontor, 22 Februari 2007
Biodata Penulis
Nama :
Hamid Fahmy Zarkasyi
TTL :
Gontor, 13 Septermber 1958
Alamat :
Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Kampus Baru Siman – Ponorogo
Orang tua :
KH. Imam Zarkasyi (Putera ke 9).
I. Pendidikan:
- Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor, 1977.
- Fakultas Tarbiyah, Institut Pendidikan Darussalam (IPD), Pondok Modern Gontor, 1982. (BA)
- Institute of Education and Research (IER), University of the Punjab, Lahore Pakistan, 1986. (MA.Ed)
- Faculty of Art, Dept. Theology Unversity of Birmingham, United Kingdom, 1996-1998. (M.Phil)
- Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, 2006 (Ph.D).
II.
Pekerjaan:
- Pembantu Rektor III, Institut Studi Islam Darussalam, 1990-1996 / 2005-sekarang
- Direktur CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies) ISID Gontor, 2006-
- Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, periode 2003-2008.
- Direktur dan peneliti INSISTS, (Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization), Jl. Kalibata Utara II, 84, Jakarta, 2002- sekarang
- Pemimpin Redaksi Majalah Ilmiyah ISLAMIA, Jakarta.
- Anggota Dewan Redaksi Jurnal al-INSAN, Gema Insani Press.
III. Karya Ilmiyah:
A. Buku:
- Pemikiran Pendidikan al-Ghazzali, Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1992.
- Reorientasi Filsafat Islam, Trimurti Press, Gontor, 1992.
- Filsafat dan Praktek Pendidikan al-Attas, Mizan 2003 (terjemahan)
- Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi Di Dunia Islam, Penerbit Kyairul Bayan, Jakarta, 2004
B. Makalah:
1. Antara Selly Oak
dan ISTAC, journal
al-Hikmah, edisi khusus, 2001
2. Akal dan Wahyu, Dalam
pandangan Ibn Rushd dan Ibn Taymiyyah, dalam Journal al-Hikmah, vol. 10, 2000
3.
Umat Islam Indonesia pasca Orba,
Renungan dan Prediksi masa depan, Makalah
disampaikan pada Seminar Keislaman Forum Komunikasi Mahasiswa Islam
Indonesia, di kampus Universiti Putera
Malaysia (UPM), pada 20 Mei 2000.
- Pengembangan SDM gaya Malaysia, majalah Nebula, edisi,
- Kata Pengantar buku Islamic Invasion, Robert Morey, terjemahan Sadu Suud,
- Pesantren dan tantangan Pemikiran, Majalah Sabili, vol. 10 (2003), 22 mei)
7. Esensi Ukhuwwah Islamiyyah, Upaya pemahaman utuh dan dimensional, Makalah, Winter Gathering Keluarga Islam Britania Raya dan sekitarnya, di Birmingham, 1999.
8. Paham Pluralisme Agama, disampaikan di Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami Jakarta, 15 Mei 2006
9. Politik Pemikiran, Majalah Hidayatullah, edisi 3, XIX, juli 2006 dan edisi 4, XIX, Agustus 2006
- Mendudukkan Orientalis, Republika, Jumat, 21 Mei 2004
- Trend Pemikiran Islam Indonesia, journal Tsaqafah, Institut Studi Islam Darussalam, PM Gontor, vol.3. 2005
- Islam Sebagai pandangan Hidup, makalah disampaikan pada acara workshop Islamic Civilizational Studies, Unissula & ICMI Jateng, 24-26 Juli, 2006.
- Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Sehari, diselenggarakan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civlization (INSISTS), Jakarta, Hotel Sofyan Betawi, 1 Juli, 2006.
- Menguak Nilai dibalik Hermeneutika, Majalah ISLAMIA, I, th. I, 2004.
- Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Postmodern, ISLAMIA, no. 4, th. I, 2004.
- Worldview sebagai Asas Epistemologi, ISLAMIA, no. 5, th.II, 2005
17. Framework Kajian
Orientalis Dalam Filsafat Islam, ISLAMIA, no. 6, th. II, 2005
18. Pandangan Hidup
Islam, disampaikan dalam
Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, diselenggarakan oleh Persatuan
Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir, 1-3 Maret 2006.
19. Sejarah
Hermeneutika,
disampaikan dalam Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,
diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan IKPM, Cairo, Mesir,
1-3 Maret 2006.
20. Hutang bangsa pada
pesantren, Majalah Sabili, No.09 Vol.11 2003.
21. Tragedi Adopsi
Peradaban Barat, Makalah
disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan
Cikini, diselenggarakan oleh Majalah ISLAMIA, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.
[1] Al-Attas, Islam, Religion and Morality,
dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, ISTAC, 1995, hal. 43-4
[2] Sebelumnya kota Madinah dikenal
dengan nama Yathrib.
[3] Ibn ManÐËr. LisÉn
al-‘Arab al-MuÍÊÏ. (Beirut: DÉr al-Jayl & DÉr LisÉn al-'Arab, 1988)
jilid13; hal. 402
[4] William R Cook
dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, New York – Oxford, Oxford
University Press, 1983, hal. 119-120
[5] Dimitri
Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, London, Routledge, 1988, hal. 13
[6] Edward Gibbon, The
Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London,
United Kingdom, Bison Books Ltd. 1979, hal. 1.
[7] Seperti dikutip
oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League Journal, edisi
November-Desember, 1983, hal. 38-42.
[8] Ibid
[9] Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human
Belief, (New York:
Charles Sribner's sons, n.d). 1-2.
[10] Aslinya: An
integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and
the meaning of existence, Lihat Thomas F Wall, Thinking Critically About
Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning,
Australia, 2001, hal. 532.
[11] Aslinya: The
foundation of all human conduct, including scientific and technological
activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and
as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence,
"The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah,
Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), 1996, jilid1. Nomor 1&2, 6.
[12] Kuhn
menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan
teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S Kuhn, The
Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified
Science, jilid2, no 2 (Chicago:
Univerity of Chicago Press, 1970, hal. 24.
[13] Lihat Edwin Hung,
The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California,
Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.
[14] Prof. Alparslan
menyimpulkan bahwa suatu pandangan hidup umumnya memiliki 5 struktur konsep
atau pandangan yang terdiri dari 1) struktur konsep tentang ilmu, 2) tentang
alam semesta, 3) tentang manusia, 4) tentang kehidupan, dan 5) tentang nilai
moralitas. Alparslan Acikgence, Scientific Thought And Its Burdens, An Essay
in the History and Philosophy of Science, Fatih University Publications,
2000, hal. 78.
[17] Shaykh ÓÏif
al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, Beirut, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, 1989, hal.
13.
[18] S.M.N, al-Attas
dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995,
hal. 2
[19] Ibn KhaldËn, 'Abd
al-RaÍmÉn Ibn MuÍammad, The Muqaddimah: an Introduction to history,
Penerjemah Franz Rosenthal, 3 jilid, editor N.J. Dawood. (London, Routledge
& Kegan Paul, 1978), hal. 54-57.
[20] Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi 'ilm
dalam tradisi intelektual Islam, dan mengkategorikannya menjadi dua belas
kategori, Rosenthal, F, Knowledge the Triumphant, Leiden, E.J.Brill,
1970, hal. 52-69.
[21] Khalifah melaporkan
catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau
19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri
disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat
Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram
Diya' al-'Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, jilid1 / 321. Cf, al-Bukhari,
Muhammad ibn Isma'il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad
Ali al-Subayh, tt. Lihat Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah,
1/104.; lihat juga al-Hujwiri, Kashf
al-Mahjub, hal. 81.
[22] Mengenai jumlah
peserta dalam komunitas ilmuan dan materi yang dikaji, Lihat AbË Nuaym Abu
Nu'aym, Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya',
10 jilid, Mesir: al-Sa'adah Press, 1357, 1/339, hal. 341.
[23] Tujuan utama AsÍÉb
al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca
al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis.
Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga
menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Lihat AbË Daud
al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha'ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 jilid (Egypt, Mustafa
al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan,
dengan komentar dari Muhammad Fu'ad 'Abd al-BÉqÊ, (Kairo: DÉr IÍyÉ' al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1953, jilid 2, hal. 70.
[24] AbË Nu'aym
mencatat bahwa Sa'Êd ibn 'Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80
orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar. Ibid, jilid 1, hal. 341.
[25] Alparslan
Acikgence, Scientific Thought, hal. 87
[26] Oliver Leaman,
"Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim
History", dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam,
I.B Tauris, London-New York in association with The Institute of Ismaili
Studies, 2000, hal. 34.
[27] Sharif, M.M., A
History of Muslim Philosophy, jilid. II, Low Price Publication, Delhi, 1995, hal.1349.
[28] Dimitri
Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation
Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10
centuries), Routledge, London-New York, 1998, hal.191.
[29] Oliver Leaman, An
Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal. 6.
[30] Thomas Brown, The Transformation of the Roman
Mediterranean, 400-900, dalam George Holmes, The Oxford History of Medieval
Europe, hal.50-51. He also noted that the remarkable success and the
strength of Islam was due mainly to their ability "to evolve an original
and durable synthesis". They took over the more effective and appealing
tenets of other faiths and retained viable elements of Graeco-Roman
administration and urban culture while maintaining the distinctiveness and
vitality of their own culture. Lihat Ibid., hal. 11.
[31] Alfred Gullimaune,
“Philosophy and Theology” dalam The Legacy of Islam, Oxford University
Press, 1948, hal.239.
[32] Ibn KhaldËn, Muqaddimah,
hal. 343-400
[33] Mozarab asal katanya dari bahasa Sepanyol yang diambil dari
Bahasa Arab musta'rab yang berarti terarabkan ('arabized'), or menjadi
ke Arab-Araban, tapi istilah ini dipakai untuk mengecap seseorang yang
mengaku-ngaku sebagai Arab tanpa menjadi Arab betulan. Menurut Mikel istilah
ini adalah aslinya dalah kata pejoratif
yang diarahkan kepada orang Kristen Arab yang hidup pada kekaisaran
Kristen Abad Pertengahan, khususnya di Toledo. Namun istilah ini
juga merujuk kepada peserta kebaktian Kristen di Spanyol yang masih
mempertahankan bentuk agama mereka yang telah dimodifikasi setelah datangnya
Muslim. Lihat Mikel De Eplaza, “Mozarab, An Emblematic Christian Minority in
Islamic Andalus”, dalam Salma Khadra Jayyusi, "The legacy of Muslim Spain", E.J.Brill, Leiden, 1992, 149-170. Bandingkan Webster
Comprehensive Dictionary, Trident Press International, 1996, hal. 833
[34] Morris, Rosemary, Northern Europe invades the Mediterranean, 900-1200, dalam George Holmes, The Oxford, Ibid., hal.
194-195
[35] Alparsalan menyatakan bahwa worldview itu terbentuk
dalam pikiran manusia menurut ide-ide cultural, saintifik, keagamaan dan
spekulatif, melalui pendidikan, atau upaya-upya-upaya yang sadar untuk
memperoleh ilmu atau keduanya sekaligus. Alparslan Acikgenc, Islamic Science,
hal. 15
[36] Salma Khadra Jayyusi, The Legacy of Muslim Spain,
Ibid, hal.1059-1060; Toledo adalah tempat
aktifitas terpenting tapi dalam skala yang lebih kecil dilakukan di Salerno, Salamanca dan Venice. Lihat William
McNeill, Ibid., 548-550; Untuk lebih detail tentang proses transformasi melalui
kegiatan penterjemahan lihat Myers, Eugene A, Arabic Thought and The Western
World, (New York:
Frederick Ungar Publishing co., 1964), hal. 78-130.
[37] Lihat misalnya, O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its
Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963. hal. viii.
[38] William McNeill, Ibid., hal. 418
[39] Ahmad Y
al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth
Century” dalam Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of
Modernity, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 351
[40] Myers, Eugene A, Arabic Thought, hal.132.
[41] Cemil Akdogan,
“Ghazzzali, Descartes, and Hume: The Geneology of Some Philosophical Ideas”
dalam Islamic Studies, vol. 42, Autumn 2003, Nomer: 3, hal. 498; David
Humes (1711-1776) bersentuhan dengan konsep kausalitas al-Ghazzali melalui Malebranche
(1638-1715) yang membaca TahÉfut TahÉfut Ibn Rushd melalui tulisan
Fonseca, Ruvio dan Suarez. Lihat J.F.Naify, Arabic and European
Occasionalism: A Comparison of al-GhazzÉlÊ’s Occasionalism and its critique by
Averroes with Malebranche’s Occasionalism and its critique in the Cartesian
Tradition, Ph.D. Diss., University of California, San Diego, 1975, hal.
196-198.
[42] Ahmad Y
al-Hassan, “Factors Behind The Decline of Islamic Science After The Sixteenth
Century”, hal. 366-384.
[43] Bernard Lewis, The
Arab in History, London,
1977, hal.150.
[44] Catatan sejarah
tentang serangan Hulagu ke Mesir Lihat Ibn Kathir, al-BidÉyah wa al-NihÉyah,
Beirut, 1982,
jilid 13, hal. 200.
[45]
Intervensi Barat kedalam rumah tangga umat Islam bukan hal baru. Ketika itu
Muhammad Ali berkuasa di Mesir (tahun 1805) menyadari bahwa kelemahan Muslim
adalah ketergantungannya kepada bangsa Eropah ia mencanangkan modernisasi
ekonomi Mesir, dengan meningkatkan ekspor kapas, dan menetapkan ekspor menjadi
memonopoli negara. Ia juga menolak regulasi perdagangan yang diterapkan Barat
ke Turkey Uthmani. Dari situ ia mengembangkan industri tekstil, pakaian,
kertas, gula, kimia, kulit, kaca, alat-alat industri, pompa, senjata, amunisi
dan lain sebagainya. Ia bahkan mendirikan industri kapal laut setelah ia
mengirimkan kader-kadernya belajar ke Eropah dan bahkan menyewa teknisi asing
untuk industri tertentu. Sekolah dan perguruan tinggi untuk bidang kedokteran,
kedokteran hewan, tehnik, bahasa, sekolah administrasi, sekolah dinas
ketentaraan dan lain-lain didirikan. Lebih dari 10.000 mahasiswa yang terdafdar
disitu mendapatkan biasiswa, tempat tinggal dan makan. Muhammad Ali kemudian
mendirikan persatuan negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir Syria, Saudi dan Sudan. Barat ternyata tidak tahan
melihat sepak terjang Muhammad Ali ini. Inggeris khususnya menganggap Muhammad
Ali sebagai ancaman yang berbahaya. Pimpinan negara Perancis waktu itu,
Palmerston, menulis kepada duta
besarnya:” Saya membenci Muhammad Ali yang bagi saya tidak lebih baik dari
barbarian. Saya yakin dia adalah tiran dan penindas yang besar.” Negara-negara
Barat seperti Inggeris, Perancis, Prussia, Austria
dan Russia
bersatu menekan Muhammad Ali. Itulah cara-cara Barat menghadapi kekuatan Islam
yang akan bangkit. Dikutip oleh Ahmad Y al-Hassan, dalam “Factors Behind The
Decline of Islamic Science After The Sixteenth Century”, hal. 383-384.
[46] Lihat Economic
of Ibn Khaldun,: Revisited, www.Uwplatt.edu/-Soofi/Khaldun2,
hal 16
[47] Ibn Khaldun, Muqaddimah,
Terjm. F.Rosenthal hal. 238-239
[48] Ibid, hal. 286
[49] Ibid, 289.
[50] Mehdi,
Soltanzadeh, “Factor Affecting a Siciety’s Life Span, According to Ibn
Khaldun”, a paper disampaikan pada International Conference:Ibn Khaldun’s
Legacy and Its Contemporary Significance, 20th-22th November,
2006, ITAC-IIUM, Kuala Lumpur, hal.3-7
[51] Ibn Khaldun, Muqaddimah,
Terjm. F.Rosenthal, jld. 2, hal. 431.
[52] Ibid, hal. 434
[53] Grunbaum, G.E.
von, “Pluralism in the Islamic World” dalam Islamic Studies, jilid 5,
hal. 2:37-59.
[54]Lihat, misalnya,
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval
Islam (Leiden: E. J. Brill, 1970); A. L. Tibawi, “Philosophy of Muslim
Education,” Islamic Quarterly, jilid 10, no. 2, Juli 1957, hal. 82.;
Gustave von Grunebaum, Medieval Islam: A Vital Study of Islam at its Zenith,
edisi ke 2 (Chicago: Phoenix Books/Univ. of Chicago Press, 1962), hal. 234-250.
[55] Bernard Lewis, Emergence
of Modern Turkey, edisi ke 2 (London: Oxford University Press, 1968), bab.
3 dan 4; Ghulam Nabi Saqib, Modernization of Muslim Education in Egypt, Pakistan,
and Turkey:
A Comparative Study (Lahore: Islamic Urdu Service, 1983), hal. 79-80.
[56]
Al-Attas, SMN, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur, 2001, para. 51, hal. 129. Cf.
Surat kepada Sekretariat Islam tanggal 15
Mei 1973, berbunyi “permasalahan inti yang menjadi penyebab semua permasalahan
yang lain adalah permasalahan ilmu.” seperti dikutip Wan Mohd Nur Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas,
ISTAC, Kuala Lumpur, 1998, 71.
[57] Al-Attas, Syed
Muhammad Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[58] Lihat Troger Garaudy, Janji-Janji Islam, terjemahan (Jakarta, Bulan Bintang, 1982, 222-223; juga Maryam
Jemeelah, Islam and Modernism, (Lahore:
Muhammad Yusuf Khan, 1975), hal. 15.
[59] Sekularisme moderat menganggap agama sebagai urusan pribadi dan rohani
manusia dan karena itu tidak boleh dicampur aduk dengan urusan keduniaan yang
berupa ilmu, politik, pertanian dll., sedangkan sekularisme ekstrim menganggap
agama sebagai musuh masyarakat, tapi yang jelas keduanya menolak agama dalam
kehidupan. Muhammad al-Bahi, Penentangan Islam terhadap Aliran Pemikiran
Perosak, terjemahan bahasa Malaysia (kuala Lumpur, Penerbit Hizbi, 1985)
hal.52.
[60] Relativisme dan nihilisme adalah doktrin tentang nilai yang
dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama. Programnya adalah
penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi
yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan merduksi makna nilai yang
dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolute oleh agama dan masyarakat.
Menurut Heidegger (1889-1976) nihilisme adalah “suatu proses dimana pada
akhirnya tidak ada lagi [kebenaran] yang tersisa. Bagi Nietzsche proses nihilisme
adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin
“kematian Tuhan”. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tidak lagi
berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep
tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, religious
ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine). Ini berarti bahwa filsafat
nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang
dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep
Tuhan merupakan foundasi pemikiran dan nilai, dihilangkan atau disingkirkan.
Sebab, kata Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu poin dimana
kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari
nilai-nilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan
opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah,
keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak
dapat diandalkan. Maka dari itu, kalau kita menolak kesalahan kita juga harus
menolah kebenaran. Membuang yang satu berarti juga harus membuang yang lain (to
do away with one is to do away with other too). Serangan doktrin nihilisme
terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas sebagai serangan agama sebagai
asas bagi moralitas. Lihat Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19,
167; Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idol, terjemahan. R.J.
Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), hal. 41. dalam karyanya Will To
Power, ia menyatakan bahwa “Truth is the kind of error”, lihat Nietzsche,
Friedrich, The Will To Power, lihat section 493.
[61] Fazlur Rahman, "Islam:Legacy and Comtemporary Challenge"
seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Haji Abdullah dalam Pemikiran Islam
di Malaysia, sejarah dan aliran, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka
& USM, Pinang, 1988, hal. 11.
[62] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung ,
Penerbit Mizan, cetakan ke VIII, 1995, hal. 172.
[63] Libat, Muhammad
‘Ali al-Juzu, Shaykh, MafhËm al-‘Aql wa al-Qalb, DÉral-‘Ilm Lil-Malayin,
Beirut, 1983, khususnya Bab 2, hal. 55-78
[64] Ibid, hal 207.
[68] Al-Attas, Islam,
hal. 48. Sekalipun judul buku al-Attas adalah Islam dan Sekularisme, namun
makna Sekularisme bukan sekedar idiologi secular seperti komunisme, sosialisme
dan bentuknya yang beragam, namun juga termasuk pandangan hidup sekular yang
diproyeksikan oleh sekularisasi, yang intinya adalah relativisme historis
sekular, dan inilah makna dari sekularisisme.
[69] Seperti misalnya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Teologi
Islam (1977), Filsafat Agama (1978), Filsafat dan Mistik dalam
Islam (1978), Aliran modern dalam Islam (1980), Muhammad Abduh
dan Teologi Mu'tazilah (1987)
[70] Harun Nasution , Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Penerbit
Mizan, ed. Saiful Muzani, Bandung, Penerbit Mizan 1996, cetakan ke IV, hal
154-155.
[71] Al-Hassan, “Factor”,
hal. 363-364
[72] Bandingkan misalnya Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau
Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996; dan juga Atho Mudzhar,
H.M,. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1998.
[73]
Untuk pemabahsan lebih detail lihat Wan Mohd Nur Wan Daud, The Educational
Philosophy, hal. 71.
[74] Dalam konteks Islam,
sebenarnya tidak ada istilah ‘ilmu-ilmu umum,’ sebab Islam menjadikan semua
aspek, keperluan dan aktifitas kehidupan sebagai bentuk ibadah kepada Allah
SWT. Dipakainya istilah ilmu-ilmu umum dalam tulisan ini adalah semata-mata
merujuk kepada penggunaannya yang sudah begitu populer di Indonesia.
[75] Untuk penjelasan
tentang lahir dan berkembangnya pandangan hidup Islam, lihat karya Alparslan
Acikgenc, Islamic Science toward definition, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995.
[76] Khurshid Ahmad,
“Economic Development in an Islamic Development”, dalam Khurshid Ahmad (ed), Studies
in Islamic Economic, International Centre for Research in Islamic Economic,
King Abudl Aziz University, Jeddah and The Islamic Foundation, UK 1981, hal. 175
[77] Alfred Bonne, Studies
in Economic Development, London,
Routledge and Kegan Paul, 1960, hal. 250.
[78] Kajian Tibawi, misalnya menunjukkan bahwa ternyata
Ikhwa al-Safa tidak tertarik untuk membahas bayi dan anak laki-laki sebelum berusia
15 tahun dalam praktek sistem pendidikan Islam. Abdul Latif Tibawi, Arabic
and Islamic Themes: Historical, Educational and Literary Studies (London:
Luzac & Co., 1974), hal. 181.
[79]
Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal. 39–40; Ikhwan al-Safa
(muncul pada 373 Hijrah) dalam risalahnya (Rasail) menekankan bahwa
setelah proses pendidikan bentuk kehalusan budi (tahdhÊb), pensucian
diri (ta'thir), peningkatan sampai akhir (tatmim), dan
penyempurnaan (takmil), maka proses yang terakhir harus pada tingkat
manusia sempurna (Insan Kamil). Lihat juga Tibawi, Arabic and Islamic
Themes, hal. 185.
[80]
Lihat sebagai contoh, James L. Jarrett, Educational Philosophy of the
Sophists (New York: Teachers
College-Columbia University Press, 1965); juga lihat Corliss Lamont, The
Philosophy of Humanism, cetakan ulang edisi 1949 (New York: The
Wisdom Library, 1957).
[81]
Lihat Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, 3 vols.
diterjemahkan oleh Gilbert Highet.
Edisi 2 (New York/Oxford: Oxford University Press, 1945), 1: xxii–xxiv;
juga lihat J. H. Randall Jr., The Making of the Modern Mind, 50th
Anniversary Edition. Kata Pengantar oleh Jacques Barzun (New York: Columbia
University Press, 1976), hal. 135–136; juga lihat Paul Nash, Andreas M.
Kazamias dan Henry J. Perkinson, The Educated Man: Studies in the History of
Educational Thought (Malabar, Florida: Robert E. Krieger, 1970), baca Pendahuluan.
[82] Surat al-Attas kepada
kepada Sekretariat Konferensi Islam tanggal, 15 May 1973, hal. 1–2; seperti
dikutip Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice
of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 172.
[83] Dimitri Gutas, Greek
Thought, Arabic Culture, hal.2-3
0 komentar:
Post a Comment